Sejak pertemuan itu, Ares jadi sering melamun. Pasalnya, baru kali ini lelaki itu bertengkar dengan Jannah, sepupu terdekat sekaligus ponakan kesayangan bundanya.
Ares mengembuskan napas. Kalau begini rasanya, ia ingin jadwal shooting dipercepat saja. Setidaknya, kesibukannya nanti dapat mengalihkan pikiran.
"Ar, kamu mau aku buatin sesuatu yang hangat?"
"Hmm?"
Sandara menatap sedih profil wajah Ares yang menonton TV dengan pandangan kosong. "Minuman yang hangat mungkin bisa sedikit buat kamu lebih tenang."
Mau tidak mau, Ares tersenyum sambil mengeratkan rangkulannya agar tubuh Sandara yang duduk di sisinya semakin tidak memiliki celah. "Aku baik-baik aja."
"Kamu kelihatan murung akhir-akhir ini. Aku khawatir."
"Aku nggak apa-apa, San." Ares mengusap kaki Sandara yang berselonjor menyamping di atas sepasang pahanya dengan tangan yang terbebas dari bahu perempuannya. "Aku cuma lagi bosan karena nggak ada kerjaan."
Sandara tahu, lelaki itu hanya beralasan. Namun, ia berusaha menghargai Ares dengan tidak membahas apa yang sesungguhnya mengusik hari-hari sang kekasih. "Mas Andi belum ngabarin?"
Ares mengangguk. "Udah sih. Tadi sore dikabarin katanya minggu depan mulai proses reading."
"Oh?" Sandara mengerjap-ngerjap. "Baru reading? Biasanya reading dulu, kan, baru test look? Aku pikir udah lewat."
"Sebelum test look kemarin cuma reading singkat aja." Ares mengangkat bahu. "Mungkin sekalian nunggu jadwal syuting fix-nya kapan. Biar makin matang pemahaman karakternya. Maklum, series spesial."
Sandara manggut-manggut. Tidak ada lagi permintaan yang keluar dari mulut lelaki itu untuk Sandara menemaninya. Tapi hal tersebut justru membuatnya bersyukur. Karena gedung HS mulai tidak aman baginya.
Dering ponsel Ares membuat Sandara otomatis menarik diri. Panggilan video dari Rumi, bunda Ares.
"Hai, Bun."
"Adeeek! Apa kabar? Sapa dulu nih si kakak ..." Rumi menunjukkan kucing persia putih yang menjadi pengganti abangnya. "Pevita, Pevita! Sapa adek dulu sini, Sayang."
Ares terkekeh melihat Pevita Pearce Salim yang tampak memberontak di pelukan Rumi. "Kalau nggak mau, nggak usah dipaksa, Bun," ucapnya, lantas mengamati Sandara yang mulai bangkit dari sofa dan berlalu, memberikan Ares privasi.
Rumi tampak cemberut. "Kamu sih jarang pulang sekarang, si Kakak jadi nggak ngenalin kamu tuh!"
Ares meringis kecil. "Iya, nanti kalau ada libur panjang, Ares pulang deh."
"Harus dong ... eh? EH! KAKAK JANGAN NAIK-NAIK! Turun dong, Pevita Sayaaang." Rumi tampak kerepotan di seberang. Video yang ditampilkan pun tampak berguncang. "Duh, Adek, udahan dulu ya? Bunda mau urus anak perempuan satu ini. Bikin pusing!"
Sebelum Ares menjawab, sambungan telah diputus secara sepihak oleh Rumi. Ya, seperti itulah nasibnya. Selalu dinomor duakan oleh seekor kucing. Ares jadi berpikir, mungkin bundanya menelepon hanya sebagai formalitas mengingat Rumi tidak ingin dibilang sebagai orang tua yang tidak adil.
Begitu layar ponsel telah mati, Ares pun menoleh ke sisi di mana Sandara duduk sebelumnya. Entah sampai kapan ia harus menyembunyikan hubungan mereka. Entah sampai kapan Sandara harus "bersembunyi" tiap kali Rumi menghubunginya.
Entah sampai kapan.
Di tempat lain, seorang perempuan yang tengah sibuk menulis lantas mengernyit tatkala mendapati sebuah akun yang tampak tidak asing menandainya di sebuah foto. Akun ter-update tentang informasi seputar series dan film.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
Roman d'amourBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...