Sandara terbangun saat merasakan sebuah telunjuk menari-nari di atas punggung polosnya. Dalam keadaan masih tengkurap dan posisi kepala yang membelakangi alasan dari mimpi indahnya semalam, Sandara menyunggingkan senyum pada bias mentari di sisi kamar sang tuan.
"Morning," sapa Ares dengan suara serak, khas orang yang baru bangun tidur. Meskipun Sandara masih setia memandang jendela alih-alih wajah tampannya, Ares tahu jika perempuan itu telah terjaga. Gemas karena tidak dihiraukan, ia pun menunduk dan berbisik tepat di telinga Sandara, "Ayo, kerja. Udah siang."
Mendengar respons berupa dengusan, Ares pun terkekeh sebelum akhirnya melayangkan kecupan ringan pada punggung telanjang Sandara. Tepat di sebuah tato yang mempunyai makna tersendiri bagi perempuannya.
Mau tidak mau, Ares jadi teringat akan momen ketika keduanya pertama kali bercinta. Saat itu ia benar-benar terkejut mendapati perempuan lugu seperti Sandara memiliki tato yang bergambar tidak biasa. Lalu Sandara pun menjelaskan secara gamblang jika tanda di punggungnya tersebut adalah salah satu alasan dirinya merasa kuat.
"Saya merasa orang-orang yang punya tato seperti punya power. Dan saya pengin jadi kayak mereka. Walaupun pada akhirnya ..." Sandara mengembuskan napas, berat. "Tato cuma lambang yang nggak berarti. Nggak bisa ngelindungin saya sama sekali. Saya tetap lemah."
Ares refleks mengusap kepala Sandara. "Kamu nggak lemah. Dunia aja yang terlalu kejam sama kamu."
Sandara tersenyum mendengarnya. "Begitu?"
Ares mengangguk. "Anyway, kenapa bukan kupu-kupu? Sesuatu yang lebih merepresentasikan kamu."
"Karena saya lemah? Kupu-kupu punya sayap yang rapuh," tebak Sandara, tepat sasaran. Meski begitu, ia tahu jika Ares bukan ingin menyinggungnya. "Saya nggak mau lambang yang merefleksikan kelemahan saya dan ngebuat saya semakin benci sama diri sendiri."
"Alright. I'm sorry." Ares meringis kecil. "Maksudnya tadi bukan begitu, tapi lebih fokus pada keindahan bentuk juga maknanya. Perjalanan kupu-kupu itu nggak mudah buat dia bisa sampai berubah. Penuh perjuangan. Just like you."
Ares baru akan melanjutkan ucapannya saat Sandara kembali menciumnya. Mengulangi kegiatan panas yang baru saja berhenti. Malam itu juga, sebelum keduanya tenggelam dalam mimpi, Ares meminta Sandara untuk tidak lagi berbicara formal dengannya.
Lamunan lelaki itu lantas menguap saat Sandara bangun dan meraih kemejanya alih-alih kaus perempuan itu sendiri karena lebih dekat dalam jangkauan. Ares sama sekali tidak masalah. Melihat tubuh Sandara—yang tidak lagi sekurus dulu—dibalut pakaiannya yang tampak kebesaran, membuat perempuan itu terlihat jauh lebih seksi.
"Mau ke mana?" Ares memeluk bantal yang masih menguarkan aroma Sandara tanpa melepaskan pandangan dari punggung yang telah tertutup sempurna. "Marah?"
Usai mengancingi kemeja Ares, Sandara berbalik badan dan melemparkan tatapan bingung, "Kenapa harus marah?"
"Karena aku bercandain kamu?"
Ya, sekalipun waktu sudah berlalu, Ares masih senantiasa menggoda Sandara seperti dulu. Ia merasa terhibur melihat reaksi Sandara yang biasanya langsung diam seribu bahasa karena tidak ingin penghasilannya diotak-atik. Tapi sekarang, Sandara tidak lagi takut karena Ares tidak akan mungkin melakukannya.
Sandara terkekeh. "Nggak, Ar. Aku nggak pernah marah soal itu karena kamu juga nggak bakal berani motong gaji aku, kan?" Kemudian perempuan itu tersenyum miring. "Kamu yang butuh aku sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomanceBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...