"Ar!"
Pintu kamar Ares terbeliak lebar, disusul sosok Andi yang masuk dengan terburu-buru. "Aku punya berita buruk dan berita bagus. Mau dengar yang mana dulu?"
Ares yang masih terduduk di pinggir ranjang, lantas mengalihkan perhatian dari undangan pernikahan digital pada ponselnya. "Hmm, bad?" jawab lelaki itu, tidak sepenuhnya yakin. Terlebih, Andi sudah muncul di jam-jam yang seharusnya masih menjadi waktu bagi sang manajer untuk sarapan di rumahnya. Mau tidak mau, Ares jadi khawatir. Seberapa buruk berita yang akan disampaikan sehingga Andi harus rela datang pagi-pagi?
"Oke." Andi tampak menarik napas dalam dan membuangnya lewat mulut. Saat itulah ia menyadari jika maskernya masih terpasang karena aroma mulut sendiri yang terasa kurang sedap. "Ada perubahan jadwal."
Mendengarnya, Ares mendengus. "Kirain apa, Mas. Bikin cemas aja."
"Lho, tunggu dulu! Belum selesai penjelasan aku," lanjut Andi. "Masalahnya, perubahan jadwal ini kemungkinan ngerusak jadwal kamu yang lain. Nggak semua sih. Tapi serius, ada kemungkinan selama dua bulan berturut-turut kamu nggak bisa libur, Ar."
Sepasang alis tebal Ares bertaut mendengarnya. "Aku ini manusia, Mas. Bukan robot. Aku butuh istirahat minimal sekali dalam 2 minggu. Jangan sampai kayak kerja rodi gitu."
"Aku tahu. Aku juga kemarin udah protes besar-besaran kok sama tim produksinya sampai mereka ngerasa nggak enak. Kami juga udah nemuin solusi, walaupun aku sendiri nggak yakin kamu oke-oke aja atau justru keberatan."
"Apa?"
"Bisa ada liburnya, tapi nggak memungkinkan kamu buat pulang ke rumah orang tuamu, Ar. Pertama, lebih jauh. Kedua, apartemen ini paling dekat dengan titik-titik lokasi syuting bahkan HS Entertainment." Andi meringis kecil. "Bisa dibilang, bukan benar-benar libur sih jatuhnya. Tapi lebih ke memanfaatkan waktu luang karena setelah syuting pertama dinyatakan wrap, langsung tebas ke judul lain. Nggak ada libur panjang dulu kayak biasanya."
Ares menghela napas. "Oke, itu nggak kedengaran buruk sama sekali. Aku pikir, aku beneran nggak punya waktu buat sendirian."
"Tenang, Ar. Aku udah kasih tahu permintaan kamu ke pihak yang bersangkutan. Pokoknya, yang lain aman. Cuma itu aja yang perlu kamu pahami. Aku takut, nanti kamu kaget pas mulai syuting." Andi lalu menggosok-gosok telapak tangannya, antusias."Oke, moving on ke berita bagusnya. Kamu bisa tebak apa?"
Ares hanya menggeleng pelan.
"Brand sheetmask langganan kamu ngontak aku buat nawarin kerja sama!" Andi sampai menurunkan maskernya demi memperlihatkan senyum lebar lelaki itu pada Ares.
Sebelah alis tebal Ares menukik. "Bukannya itu brand Korea?"
"Terus?"
Ares mengangkat bahu. "Aku pikir bakal milih ambassador yang wajahnya lebih Korea."
"Mereka, kan, punya pasar di sini, Ar. Pasti menyesuaikanlah!" Andi mengernyit. "Kok kamu kayak nggak semangat gitu? Jangan bilang insecure?!"
Melihat Ares hanya terdiam, Andi pun menepuk kening. "Astaga, Ar! Dengar ya, kamu tuh punya wajah unik menurutku. Kalau nggak, gimana bisa kamu selaku ini di dunia hiburan? Coba ngaca, kamu 11:12 sama Jungkook pasti kalau kata anak zaman sekarang."
Ares mendengus geli. "WC jongkok kali aku."
"Heh, kalau kamu WC jongkok, aku apaan? Eeknya?!" sewot Andi. "Jangan begitulah. Aku nih langsung buru-buru ke sini lho setelah baca e-mail dari mereka semalam yang ternyata udah dari sebulan lalu. Tahu begitu, kemarin kita nyetok ya? Minta aja gratis." Andi terkekeh lantas bergumam, "Saking excited-nya, sampai lupa mandi aku tuh."
"Pantas bau."
"Kayak kamu udah mandi aja!" Andi berdecak. Tepat saat itulah sudut matanya menangkap secangkir teh yang sudah dingin di atas nakas Ares. "Ini siapa yang bikin? Bukannya kamu nggak suka minum teh pagi-pagi?"
"Menurut Mas aja." Kini giliran Ares yang berdecak. "Emang nggak dikasih tahu ke dia kalau jangan masuk kamar orang sembarangan?"
"Oh!" Andi mengusap tengkuknya seraya meringis kecil. "Lupa, Ar. Lebih tepatnya, belum sempat sih. Hari ini deh aku kasih tahu segala rinci tugasnya."
Ares tidak menjawab, tapi Andi bisa melihat wajah tampan sang aktor tampak super kusut.
"Wajarin aja, mungkin dia cuma ngelakuin apa yang dulu dia lakuin di tempat kerja sebelumnya. Tapi kamu nggak marah-marah ke dia, kan?" Andi terlihat khawatir. "Soalnya ya, Ar, entah kenapa aku merasa kasihan gitu sama dia. Reaksinya pas buat kesalahan kecil agak berlebihan gitu. Majikannya pada galak-galak kali ya?"
Ares tampak acuh tak acuh mendengarnya. "Nggak peduli."
Mendapati respons Ares yang bernada kesal, Andi pun jadi bingung. "Kamu kenapa sih? Perasaan kamu sendiri yang milih dia." Kemudian lelaki itu mengibaskan tangan. "Aku mau pinjam kamar mandi. Handuk aku masih kamu simpan, kan?"
Ares hanya bergumam menjawab Andi. Namun, sebelum sang manajer benar-benar meninggalkan ruang kamar, Ares memanggilnya untuk menyampaikan sebuah pesan...
"Tolong bilang ke dia, kalau pagi nggak perlu buat teh. Apalagi dalam keadaan perut kosong. Kandungan kafeinnya bisa memacu asam lambung dan sistem pencernaan juga sistem metabolisme tubuh," ujar Ares, panjang lebar.
Andi hanya manggut-manggut patuh mendengarnya.
***
Sandara membenarkan letak bantal-bantal sofa dan tidak lupa menatanya. Benda empuk berbentuk persegi itu ia sandarkan dengan posisi belah ketupat.
Sentuhan femininnya juga berlaku pada barang lain. Seperti 4 buku hard cover yang semula diletakkan tidur bertumpuk, Sandara dirikan menyamping agar judulnya terpampang dengan menjadikan pot mini tanaman kaktus artificial sebagai sandaran. Tiga buah lilin berdiameter 3 senti dengan ukuran panjang berbeda yang semula berbaris rapi, Sandara ubah seolah menyerupai bangunan abstrak yang alami. Bahkan posisi pigura yang semula lurus-lurus saja Sandara poles menjadi sedikit menyerong agar lebih artistik dan memberikan kesan tidak kaku.
Sandara mengembuskan napas. Ia tidak yakin apa tuannya yang baru ini menyukai hasil tataannya atau justru menyukainya. Namun, sudah memasuki minggu ketiga ia bekerja di sini, Ares tidak menunjukkan tanda-tanda protes saat berpapasan dengannya. Sandara menduga, lelaki itu mungkin tidak mempermasalahkannya.
Atau mungkin karena tidak peduli mengingat jadwal sang aktor yang mulai padat?
Sejak seminggu lalu, Sandara jarang mendapati tuannya datang untuk mengunjungi apartemen lelaki itu sendiri. Meski begitu, Sandara tetap pada pendirian untuk menjadi asisten yang bisa dipercaya dengan tidak membuat ulah sedikit pun. Sekalipun Ares sedang tidak ada, perempuan itu benar-benar tidak berani menggunakan fasilitas apa pun yang tersedia untuk kepentingan pribadi. Kecuali kamar mandi, tentu saja. Ia tidak mungkin pulang dulu ke rumah hanya untuk buang air kecil bukan?
Hal yang membuat Sandara menyadari jika Ares sangat tergila-gila dengan aroma lavender.
Sandara menggeleng samar, mengenyahkan pemikiran yang lagi-lagi membuatnya terjebak di masa lalu. Tidak. Ares bukan bagian dari mereka. Sandara yakin...
Dirinya berada dalam wilayah yang aman.
🌗
Sampai sini, gimana ceritanya menurut kalian?
Oiya, semalam aku upload chapter kisah Meera yang ketinggalan (lupa diupload) sebelum bab epilog. Sudah cek?Terima kasih buat yang sudah mengikuti Behind the Salim sampai di buku ke-empat ini.
Love u
See u

KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
Storie d'amoreBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...