Untold 49

3.1K 445 20
                                    

Bersama Ares, Sandara memasuki kediaman Salim dengan bahu yang begitu ringan. Ya, tidak ada lagi beban. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi yang perlu ditutupinya.

"San!" sapa Laras yang terlebih dulu menyambutnya dan memberikan pelukan hangat. Perempuan itu juga menyapa Ares yang berdiri di samping Sandara, sebelum akhirnya lelaki itu memutuskan untuk menyusul para laki-laki yang sedang berkumpul, meninggalkan Laras dan Sandara berdua. "Gimana pertemuannya? Lancar?"

Sandara menghela napas. Ia tahu, Laras pasti akan menanyakan soal peristiwa tempo lalu. "Dibilang lancar sih iya, tapi gue masih perlu berusaha."

Laras mengernyit. "Orang tuanya Ares suka sama lo, kan?"

Sandara mengangguk kecil. "Obrolan kami nyambung kok. Terutama, obrolan gue sama bundanya. Tapi ..."

"Tapi?"

"Bundanya sempat menghindar dari pembicaraan soal pernikahan. Mungkin gue masih perlu usaha." Sandara mengangkat bahu. "Sekalipun Ares bilang itu tugasnya."

Baru Laras akan membuka mulut, sosok Jannah pun muncul di antara mereka. "Ares itu anak semata wayang dan udah lama nggak terlibat cinta-cintaan. Wajar kalau tante Rumi pasti sedikit takut. Jadi, sabar aja. Gue yakin, dia bukan nggak setuju atau menghindar. Cuma belum siap aja anaknya 'ninggalin' dia dengan punya keluarga baru."

Sandara manggut-manggut merespons penjelasan Jannah yang terdengar masuk akal. "Thanks, Jan."

Sebelah alis Jannah menukik. "Gue cuma ngomongin fakta."

"Bukan soal itu, tapi peran lo buat ngeyakinin bundanya Ares." Sandara tersenyum manis. "Makasih karena lo udah nyebut gue sebagai sahabat lo di depan beliau."

Jannah mengerjap-ngerjap. "Ng ..."

Laras mengulum senyum mendengarnya. Tidak ingin merusak momen Jannah dan Sandara, dirinya pun bergegas pamit dengan beralasan tidak ingin membiarkan Daemon sendirian di dapur.

Jannah berdeham saat sosok Laras telah berlalu. "Gue harap, gue nggak menyesal udah ngomong gitu."

Sandara tertawa kecil. "Iya, gue janji nggak akan bikin lo nyesal. Maaf juga kalau gue terkesan pernah ngerebut Laras dari lo. Gue nggak maksud. Kapan-kapan kita jalan bertiga."

Jannah hanya mengangkat bahu, pura-pura tidak peduli dan mulai berbalik badan, "Lo bisa masak, kan?" Lalu perempuan itu mengedikkan dagu. "Ikut gue ke dapur. Bantu-bantu di sana."

Dengan senang hati, Sandara mengekori Jannah dan menemui Laras juga Daemon yang sibuk dengan tugas masing-masing.

Melihat kedatangan Sandara, Daemon sontak melemparkan senyum padanya sebelum akhirnya menatap punggung Laras yang sedang mengiris bawang, tidak jauh darinya.

Daemon bersyukur berada di antara keluarga ini.

Menyadari tatapan Daemon pada Sandara—yang sudah sibuk dengan tugasnya sendiri—dan Laras secara bergantian, Jannah menghampiri pemuda itu dan berbisik, "Bingung ya?"

"Bingung kenapa, Kak?" tanya Daemon pelan, sambil tetap mengaduk adonan.

"Lihat kita semua bisa kumpul."

Mau tidak mau, Daemon mengangguk. "Jarang ada orang yang bisa berdamai sama masa lalu. Kak Ras hebat. Kalian semua hebat."

"Itulah kenapa perempuan lebih suka mendengarkan hati saat membuat keputusan dibanding pikiran." Jannah tersenyum miring. "Karena kalau udah pakai logika, 'mengalah' bukanlah pilihannya."

Bahu Daemon sontak terlihat lesu. "Pantas, yang rambutnya merah itu keras kepala banget," gumamnya, kemudian meringis kecil pada Jannah yang ternyata mendengarkan dengan jelas. "Maaf, Kak. Jangan diaduin."

The Truth Untold #4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang