Untold 17

2.2K 491 64
                                        

Sandara terbangun saat panggilan dari Andi menjadi alarm otomatisnya. Tanpa mengulur waktu, bergegas Sandara mengubah posisi tidurnya menjadi terduduk di pinggir ranjang dan menempelkan ponselnya pada telinga. "Halo, Mas?"

"Eh, San. Lagi dikosan, kan?"

Sandara manggut-manggut. "Iya. Ada apa, Mas?"

"Ada kerjaan nih buat kamu. Simpel kok. Ngantar berkas doang ke HS. Tahu, kan, alamat gedungnya?"

Jantung Sandara sanggup dibuat berdetak tak keruan karenanya. "Ng ... HS?"

"Iya. HS Entertainment. Kamu naik ojek online aja biar bisa motong jalan, nanti saya yang bayarin di sini. Saya jemput kok depan lobby entar, nggak usah takut nyasar," jelas Andi, menduga jika Sandara mungkin buta arah. "Jangan naik angkot ya. Macet!"

Sandara menggigit jari mendengarnya. Haruskah ia pergi ke sana? Apakah mungkin semua ini sudah melewati izin dari Ares? Bagaimana jika nanti ia bertemu dengan penyandang Salim lainnya?

"T-Tuan tahu, kah?"

"Nggaklah. Kan, saya yang butuh. Atau kamu mau saya kasih tahu Ares nih?" usil Andi, tidak menyadari kekhawatiran Sandara.

"Saya ngantar berkas apa ya, Mas?" Sandara tidak menanggapi gurauan Andi karena dirinya benar-benar sedang tidak mood untuk tersipu, bahkan tersenyum pun rasanya berat.

"Oh, iya! Aduh, pikun benar saya nih." Di seberang, Andi berdecak. "Berkasnya ada di apartemen, San, di kamarnya Ares. Kamu ke sana dulu, ya? Maaf nih sebelumnya kalau ngebuat kamu repot. Nanti tetap aku bayarin kok ongkosnya."

"T-Tuan tahu, kah?" Sandara mengulangi pertanyaannya.

Lagi-lagi, Andi salah paham dan menjawab, "Ares lagi nemuin Bara, petinggi HS. Orang penting tuh, San. Saya nggak bisa ngeinterupsi mereka cuma buat ngasih kabar tentang kamu."

Mendengar nama itu, Sandara pun refleks memejamkan kedua mata saat kepalanya berdenyut nyeri. Baik gedung HS maupun apartemen Ares kini bukanlah tempat yang aman.

Bagaimana cara Sandara menolaknya? Perempuan itu yakin, Andi belum mengetahui apa pun tentang masa lalu Ares yang menjadikan sang manajer tidak menganggap "kehadiran" Sandara sepersekian detik bukanlah hal yang mengganggu buat Jannah. Padahal, sosok jelita itu sampai pingsan melihat kemunculannya. (read: "House of Cards" by Junieloo)

Insiden yang belum lama terjadi pun kembali terngiang di benaknya. Beberapa hari lalu tepatnya, ia baru saja mengunjungi apartemen Ares karena ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu yang cukup penting baginya.

Sandara tahu, ia sangat bodoh karena melakukan ini. Demi mengambil risiko hanya untuk sebuah benda yang tidak berarti. Namun, tidak dengan makna pemberinya.

Mengingat Ares ingin dirinya bebenah dengan maksimal hari itu, Sandara pun baru selesai dengan pekerjaannya saat langit sudah gelap. Tidak salah rasanya karena telah memilih untuk menuruti perkataan lelaki itu, karena hal tersebut membuatnya jadi dipertemukan oleh Ares yang ternyata pulang lebih awal.

Tidak hanya rindu yang terbayar, tapi Sandara juga disanjung dengan perhatian kecil berbentuk sebuah benda yang cukup berkilau meskipun tampak sederhana.

"I-ini apa, Tuan?" Sandara mengeluarkan isi pouch serut mini biru berbahan beludru di tangannya dengan perasaan bingung.

"Strap mask." Ares mengangkat bahu. "Semenjak kamu diperbolehin buka masker di sini, kamu jadi suka naruh masker sembarangan. Saya sedikit keganggu. Jadi, saya beliin benda itu buat kamu pakai."

The Truth Untold #4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang