Untold 4

3K 587 38
                                    

"Nih, silakan kamu pilih sendiri."

Sebelah alis tebal Ares menukik. "Apa nih?" tanyanya bingung, meskipun tangannya tetap terulur menerima berkas yang diberikan Andi.

"Yang menurut kamu pantas dijadiin asisten," ujar sang manajer usai lelaki itu telah duduk di single sofa ruang tamu apartemen Ares. Sedangkan sang aktor sendiri menempati sofa 3 seater di depannya.

Mau tidak mau, Ares mendengus geli mendengarnya. "Udah kayak pemilihan jodoh aja segala pilih yang pantas. Bukannya aku bilang, Mas Andi yang harus mastiin?"

"Aku juga butuh persetujuan kamu. Gimanapun, kenyamanan kamu yang paling utama." Andi mengedikkan dagu. "Kamu cek aja perlahan. Nggak usah buru-buru. Baca baik-baik informasi mereka dan cermati fotonya. Kamu, kan, biasanya paling paham aura orang tuh."

"Kalau paham, dulu aku nggak akan kena tipu orang dong?" Ares terkekeh saat Andi menampilkan raut wajah bersalah. "Nggak usah begitu ekspresinya. Aku udah nggak apa-apa kok."

Mas Andi hanya bergumam membalasnya. Ares pun kembali menaruh perhatian pada file di tangan.

Cukup lama Ares mengamati setiap profil calon asistennya. Namun, ia selalu meletakkan lembaran-lembaran yang telah selesai dipelajarinya pada sisi kirinya, upaya memisahkan mana yang sudah pasti tidak masuk dalam pertimbangan.

Hingga 20 menit berlalu. Andi bahkan sempat membuat kopi untuk diri sendiri terlebih dahulu sebelum akhirnya kembali ke tempat semula. Akan tetapi, sisi kanan Ares masih kosong. Hal itu lantas membuat Andi tergiur untuk menanyakan apa yang sebenarnya lelaki berusia 5 tahun lebih muda darinya tersebut lihat? Namun, baru dirinya akan membuka mulut, ia langsung mengurungkan niatannya karena ekspresi Ares yang berubah saat mengamati lembaran selanjutnya.

"Ar, kamu nggak apa-apa?"

Ares hanya bergeming. Andi sampai tidak yakin jika pertanyaannya didengarkan.

"Ar?" panggil Andi kembali. Kali ini dengan disertai sentuhan pada punggung tangan Ares yang membuat lelaki itu tampak terkejut seperti orang tersengat. "Heh! Kamu kenapa? Kesambet?" Kemudian Andi menyisir pandangan. Apa benar kata orang, jika tempat jarang dibersihkan dan ditinggali akan memunculkan penghuni lain? Memikirkannya membuat bulu kuduk Andi meremang.

"Ng-nggak." Ares berdeham kecil saat suaranya sulit keluar hingga terbata. "Aku cuma merasa pernah lihat orang ini. Dari mana Mas Andi dapat?"

Dahi Andi berkerut. "Oh iya? Aku dapat dari berbagai informan pastinya. Mereka yang ngerekomendasiin ke aku orang-orang itu. Sebelumnya sih aku yakin 100% kalau nggak ada penggemar kamu ataupun aktivitas lain dan hal-hal mencurigakan dari para pendaftar. Aku udah seleksi lebih dulu sebelum aku kasih ke kamu soalnya." Andi menggaruk pelipisnya. "Tapi dengar kamu ngomong gitu, aku jadi ragu. Skip aja deh kalau nggak yang satu itu, Ar," lanjutnya, tidak ingin mengambil risiko.

"Aku mau dia."

Andi berjengit mendengarnya. "Hah?"

"Maksud aku, dia yang keterima." Ares menyerahkan data perempuan yang dimaksud pada Andi. "Kalau bisa, segera."

"Hah?!" pekiknya, sekali lagi. Andi yakin, jika ada keong di depan mulutnya, hewan tersebut sudah kabur dari cangkang. "Kamu nggak salah, Ar? Kalau kamu merasa familier sama foto ini, seharusnya langsung kita blacklist karena kemungkinan kamu pernah ketemu di acara tertentu, di kerumunan penggemar, atau mungkin malah pernah motret bareng pas nggak sengaja papasan?" ujarnya seraya menunjuk-nunjuk foto perempuan berambut pendek di tangannya.

"Bukannya Mas Andi sendiri yang bilang udah seleksi semuanya? Jadi, aman."

"Tapi—"

"Aku mau ke toilet dulu. Habis itu kita pergi makan."

The Truth Untold #4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang