Sandara terbangun dari tidurnya dengan perasaan senang sekaligus khawatir. Senang karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa berleha-leha saat libur, menghabiskan waktu di rumah saja tanpa dirundung rasa takut sedikit pun. Namun, tidak dipungkiri bila ia juga khawatir akan keadaan Ares.
Menurut Andi, siang ini hasil tes Ares akan keluar. Hasil yang juga akan menjadi penentuan kapan Sandara akan bekerja kembali. Sayangnya, jarum pendek pada jam dinding di kosnya masih bertengger di angka 8. Jika memutuskan untuk berdiam diri, pasti akan terasa sangat lama.
Hmm, sepertinya ia tahu apa yang akan dilakukannya hari ini.
Bergegas bangkit dari ranjang, Sandara pun mulai membersihkan diri terlebih dahulu dan bersiap-siap. Hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk Sandara menyelesaikannya. Tidak lupa, ia memasang masker terlebih dulu sebelum akhirnya pergi ke tempat tujuan sekaligus mencari sarapan.
***
"Negatif."
Andi menghela napas di seberang. "Syukurlah. Aku nggak harus dites juga."
"Takut banget dicolok, Mas," goda Ares. Tahu betul apa yang menjadi kekhawatiran Andi. "Nggak sakit kok. Lebih ngeri diambil darah."
"Ya karena kamu terbiasa dicolok di lokasi syuting pas awal-awal pandemi." Andi terdengar berdecak. "Ya udah. Aku mau kabarin Sandara dulu."
Kening Ares otomatis mengernyit. "Kenapa ngabarin dia?"
"Ya biar dia nggak khawatirlah."
"Kenapa dia harus khawatir?"
"Dia dekat-dekat kamu kemarin, Ar. Beresin muntahan kamu pula! Wajar khawatir, takut ketularan juga kalau sampai kamu positif, kan?"
"Oh?"
"Respons apaan tuh? Kecewa kamu?"
"Kecewa kenapa?"
"Karena Sandara bukan ngekhawatirin keadaan kamunya."
"Mas Andi nggak jelas." Ares mendengus keras. "Udah cepat ke sini! Aku, kan, belum sembuh."
"Manja kali kamu, Ar. Punya pacar makanya, biar punya tempat yang pas buat ngomong gitu," gurau Andi. "Tapi udah lebih baik, kan, rasanya dari yang kemarin?"
"Iya. Cuma obat maagnya udah habis."
"Entar aku ke sana sekalian bawain makanan." Tercipta jeda sejenak sebelum akhirnya suara Andi mengalihkan pembahasan, "Ar, soal chat kamu kemarin yang bahas penyelidikan Sandara, kamu udah yakin?"
Ares mengangguk walaupun Andi tidak dapat melihat geraknya. "Latar belakangnya udah cukup jelas," ujarnya. Sandara bukan Sabrina, tambah batinnya. "Kenapa emang, Mas?"
"Nggak apa-apa. Cuma pengin mastiin kalau kamu nggak minta-minta lagi nanti di tengah rencana kita."
"Nggak kok. Sampai di situ aja. Selama dia nggak berbahaya." Ares berdeham samar. "By the way, rencana apa emang?"
"Ya ampun, kamu lupa?"
"Kayak Mas Andi nggak pernah lupa aja," sindir Ares yang membuat Andi meringis kecil di seberang.
"Soal kamu sama Sandara pacaran pura-pura. Ingat, Ar, aku udah nurutin permintaan kamu lho."
Ares pun mengembuskan napas. Berharap jika keputusannya tepat. "Iya, atur aja."
***
Esoknya, Sandara melangkah masuk ke dalam apartemen Ares dengan bahu sedikit merosot. Bukan karena dirinya tidak semangat bekerja, tapi karena kemarin dirinya nyaris saja tertangkap basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomanceBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...