Untold 34

2K 508 46
                                    

Seperti déjà vu, lagi-lagi ia mendapati Ares pulang dengan wajah kusut. Bedanya, kali ini tatapan itu begitu dingin tatkala keduanya berpapasan dan beradu kontak.

"Kamu udah makan?" tanya Sandara saat Ares hanya terdiam dan menciptakan keheningan di antara mereka.

"Nggak nafsu." Kemudian Ares berjalan melewati Sandara. Ingin mengambil segelas air karena dadanya kini terasa panas. Namun, baru beberapa langkah, lelaki itu kembali bersuara, "Habisin masakan kamu, setelah itu kamu bisa pergi dari sini," tukasnya tanpa berniat menoleh sedikit pun dari balik bahu.

Sandara sontak memutar tubuh, menghadapi punggung Ares. "Ar, k-kamu barusan ngusir aku?" Perempuan itu masih tidak mampu mencerna kalimat Ares. Berharap ada kekeliruan di sini.

"Bawa semua barang-barang kamu dari sini tanpa kecuali." Kemudian Ares menoleh sedikit. Memandang Sandara hanya dari sudut mata. "Saya nggak butuh 'suvenir' apa pun dari kamu," sindirnya dengan penuh penekanan.

Ya, ia tidak seperti apa yang Jannah pikirkan. Sepupunya itu telah keliru atas sikap yang Ares tunjukan. Ia bukan tidak percaya, tapi sulit menerima. Pasalnya, setelah segala yang dirinya lalui bersama Sandara...

Mengapa harus berakhir seperti ini?

Sandara tercengang mendengarnya. "Ar, aku ada salah? Aku minta maaf—"

"Maaf aja nggak cukup bikin orang-orang yang aku sayang lepas dari trauma masa lalu." Lalu Ares berbalik badan, membuat keduanya kini berhadapan. "Kenapa? Kamu masih pengin tetap di sini buat ngerancang sesuatu yang merugikan aku?"

Menyadari apa yang Ares bicarakan, Sandara pun mematung di tempat. Hal yang membuat dada lelaki itu kian membara karena reaksi Sandara sudah jelas membuktikan jika...

Perempuan itu memang bukan "orang lain" dalam lingkup Salim seperti yang selama ini ia duga.

Ares tersenyum getir. "What a surprise. Orang yang selama ini saya percaya, orang yang selama ini saya pikir innocent, ternyata cuma topeng."

"Ares, aku nggak pernah berniat jahat—"

"Penjara bisa penuh kalau maling ngaku. Pernah dengar omongan itu?" Ares mendengus. "Bisa-bisanya saya naruh perasaan sama orang seperti kamu. Orang yang udah buat kacau masa lalu sepupu-sepupu tersayang saya. Orang yang udah ngelukain Laras!"

Sandara terkesiap saat intonasi Ares mulai meninggi.

"Kamu tahu, betapa menderitanya Laras saat itu? Kamu tahu betapa jahatnya Sabrina sama dia?!" Lantas Ares tertawa remeh. "Saya lupa. Kamu, kan, tahu segalanya."

"Jadi, semua ini cuma tentang Laras bagi kamu?"

Ares membuang muka saat kilat kecewa menghiasi kedua mata Sandara. Ia juga tidak mengerti mengapa dirinya berkata demikian. Padahal, Ares sudah yakin sepenuhnya move on dari Laras dan bayang-bayang perempuan itu sejak lama. Sejak Sandara hadir di hidupnya dan menjadi bagian dari sang hati.

Sandara bisa saja menjelaskan jika tuduhan Ares akan dirinya adalah kekeliruan. Namun, kemunculan nama "Laras" dalam pembahasan ini membuat Sandara tahu jika ke depannya tidak akan ada yang berubah di antara mereka.

Begitu juga Ares. Ia merasa tidak perlu menjelaskan apa pun pada Sandara karena mulai detik ini hubungannya dengan perempuan itu telah resmi berakhir.

Dalam hati yang patah sepatah-patahnya, Sandara mulai melakukan apa yang diperintahkan sang tuan rumah. Ia mengemasi barang-barangnya dan bergegas keluar dari apartemen yang telah dianggapnya sebagai rumah utama.

Setidaknya, ketika sang pemilik masih menjadi sandarannya.

***

Daemon baru keluar dari ruangan Bara saat ponsel di saku celananya berdering dan menampilkan nama Meera pada layar.

The Truth Untold #4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang