Untold 5

2.7K 557 30
                                    

Hari pertama bekerja dan ia sangat siap!

Sandara memandangi pantulan dirinya dalam cermin full body yang sudah retak. Sekalipun jaket jeans-nya sudah lusuh dengan warna biru yang tidak lagi pekat, celana pensil hitam yang lebih pantas disebut abu-abu tua, tidak lupa sepasang sepatu yang ujung-ujungnya sudah menguning, ia tetap tersenyum memandangi wajahnya. Tampak lelah memang, tapi terdapat harapan besar di sana.

Supaya terlihat tidak terlalu pucat, ia memoleskan lipstick berwarna nude dengan hint merah muda pada bibirnya juga pipi menggunakan jemari. Dalam sekejap, benda sebesar jari telunjuk orang dewasa tersebut mampu membuatnya lebih fresh.

Saat sedang asyik mematut diri, Sandara mendengar seseorang membuka pintu utama rumahnya dengan kasar. Terburu-buru perempuan itu langsung mengunci pintu kamarnya dan melangkah mundur dengan jantung berdegup cepat.

Namun, ketakutannya tidak terjadi. Hingga lima menit berlalu, tidak ada tanda-tanda pintu kamarnya akan didobrak paksa. Ia lantas memberanikan diri untuk mengintip dari celah pintu yang benar-benar di buka tidak lebih dari segaris hanya untuk menyaksikan sosok yang sedang tertidur di sofa depan ruang kamarnya benar-benar pulas.

Memanfaatkan kesempatan, Sandara bergegas meraih sling bag serta maskernya dan melangkah pergi dari sana.

***

Dalam tidurnya Ares mengernyit saat aroma chamomile yang begitu kuat terhirup oleh hidung mancungnya. Perlahan, ia membuka mata dan mendapati secangkir teh hangat telah tersedia di atas nakas samping ranjangnya.

"Hmm?" Masih dengan posisi tengkurap, Ares sedikit mengangkat badannya hanya untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. "Tumben," gumamnya lirih sebelum akhirnya kembali menjatuhkan sisi wajah kanannya pada bantal. Namun, tidak lama kemudian, kedua matanya kembali terbuka dan melirik jam di dekat cangkir itu.

Jarum pendek masih bertengger pada angka 7 yang menandakan ini masih terlalu pagi untuk Andi datang. Lalu, siapa yang membuat teh untuknya?

Begitu kesadaran mengentaknya, Ares pun terbeliak. "Shit!" umpatnya.

Bergegas lelaki itu bangkit dari tempat tidur untuk meraih kemejanya yang ia lemparkan ke sembarang arah. Ia ingat semalam dirinya ketumpahan air mineral saat berusaha minum di mobil. Dan sesampainya di apartemen—berhubung sudah terlalu malam untuk pulang ke rumah orang tuanya—Ares malah langsung menuju ke kamarnya tanpa mengganti pakaian terlebih dulu. Hal itu menjadikan ia tanpa sadar—dalam tidurnya—menanggalkan baju tatkala udara dingin ruangannya membuat area yang basah terasa seperti es.

Usai mengenakan kembali kemeja kusutnya yang telah kering, Ares melangkah keluar dari kamar dan mencari sang pembuat teh kamomil.

Sementara itu, Sandara tampak begitu sibuk membersihkan meja makan meskipun pikirannya sibuk akan hal lain. Kejadian beberapa beberapa menit lalu masih senantiasa mengusiknya, di mana punggung bidang nan mulus sang tuan rumah yang tidak diselimuti oleh bed cover membuat jantungnya berdegup kencang.

Pipi Sandara merona saat ingatan itu tidak kunjung enyah. Ia pun menggeleng samar dan berusaha fokus pada meja seolah tidak ingin meninggalkan setitik noda pun. Hal itu membuatnya tidak menyadari jika Ares telah berdiri di ambang tembok pemisah antara dapur dan ruangan lain.

"Siapa yang nyuruh kamu masuk kamar saya?"

Sandara sontak terlonjak di tempat hingga mundur beberapa langkah dari meja. Melihat reaksi berlebihan tersebut tentu membuat sebelah alis tebal Ares menukik. Meskipun intonasinya cukup tegas, ia yakin jika pertanyaannya barusan tidak bernada membentak.

"Maaf. Maaf, Tuan. Saya nggak akan mengulangi lagi kesalahan saya."

Mendapati Sandara membungkuk 90 derajat seraya menyuarakan penyesalannya, lagi-lagi membuat Ares merasa bingung hingga keningnya mengernyit dalam. Tanpa berkata-kata, ia lantas pergi dari dapur dan membiarkan asistennya tersebut kembali melanjutkan pekerjaan.

The Truth Untold #4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang