Sandara mendapati dirinya terbangun di sebuah ruangan yang asing. Di punggung tangan kirinya tertancap infus dan perban yang membalut kepalanya.
"Hey."
Suara berat bernada lembut itu sontak mengalihkan pandangan Sandara pada sosok tampan yang tengah tersenyum sendu padanya. Ares Pramudya, malaikat hidupnya.
Melihat Sandara hanya bergeming, Ares tidak memaksa. Lelaki itu justru mengusap puncak kepala Sandara dan mengatakan, "You're safe now," ujarnya, lebih seperti sebuah janji.
Aman. Benarkah?
Alih-alih tersenyum, Sandara justru meneteskan air mata yang membuat pelipisnya basah. Saking lamanya terjebak dalam kehidupan penuh sengsara, perempuan itu sampai tidak mampu memercayai apa yang Ares ucapkan. Sandara pun menggeleng samar. "Dia bakal datang lagi—"
"No," tegas Ares. "Mas Andi lagi urus semuanya. No one's ever gonna hurt you. Not anymore."
Tangis Sandara pecah. Tangis yang selalu dinantinya. Tangis haru karena pada akhirnya, ia menemukan rumah untuknya merasa pulang. Tangis bahagia karena pada akhirnya, ada seseorang yang bisa ia percaya. Tangis yang begitu melegakan.
Tapi Ares tidak menyadarinya. Lelaki itu pikir, ucapannya lagi-lagi membuat Sandara cemas. Oleh karenanya, ia refleks memeluk Sandara dan mengatakan jika semua baik-baik saja. Setidaknya, selama ada dirinya, tidak secuil bagian dari bumi pun yang mampu melukai Sandara.
Sandara membalas rengkuhan Ares yang begitu hangat. Sakit di dahi, pipi, hingga beberapa bagian tubuhnya bahkan tidak lagi terasa karena hatinya benar-benar merasa tenang. Ya, setelah sekian lama ia bisa kembali merasa damai.
"Makasih," ucap Sandara dalam dekap Ares.
"Don't mention it," balas lelaki itu usai menarik diri dan kembali duduk di kursi samping ranjang. "Gimana keadaan kamu sekarang, hmm? Feel better?"
"Kamu nggak nanya kenapa saya bisa begini?" Sandara tidak menggubris pertanyaan Ares. "Kamu nggak penasaran?"
"Sure. Saya tentu pengin tahu." Ares tersenyum manis. "Tapi bukan kewajiban kamu buat jelasin apa pun ke saya kalau kamu nggak mau."
Sandara menurunkan pandangan. Di sanalah ia menyadari jika Ares sejak tadi memainkan tangan Sandara yang terbebas dari infus dengan jemarinya yang terluka. "Jari kamu kenapa?"
"It's nothing. Udah diobatin kok."
Memahami maksudnya, sudut bibir Sandara berkedut. Meski terenyuh, ia tidak lanjut membahasnya karena ekspresi Ares dengan jelas mengatakan jika lelaki itu tidak tertarik akan sejarah di balik luka tersebut. Oleh karenanya, Sandara mengembalikan topik pembicaraan mereka ke semula. "Kamu mau dengar?"
"Kamu udah siap cerita?" Lagi, lelaki itu melayangkan tangannya untuk mengusap Sandara. Kali ini bukan lagi puncak kepalanya, melainkan pelipis Sandara yang sempat basah karena air mata. Dengan ibu jarinya, Ares menghilangkan sisa kesedihan di sana. "Kalau belum, it's okay. Kamu bisa jelasin kapan pun ke saya. Nggak harus sekarang karena saya tahu itu butuh energi yang cukup besar. Kamu pasti capek, kan?"
Sandara tidak kuasa menyembunyikan senyumnya. "Apa kamu bakal percaya?"
"Menurut kamu, apa yang buat saya buru-buru datang nyelamatin kamu kalau saya masih ragu sama kamu?"
Sandara tertawa kecil. "Tinggal bilang 'iya' aja."
"Seenggaknya jawaban saya bisa sedikit menghibur kamu." Senyum Ares kembali menguap saat Sandara kembali terlihat murung. "You good?"
![](https://img.wattpad.com/cover/320355783-288-k831927.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomanceBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...