Sandara turun dari motor dan berterima kasih pada tukang ojek online yang ia pesan seraya mengembalikan helmnya. Tidak lama kemudian usai kendaraan beroda dua itu berlalu, ia mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Ares.
"Kamu di mana?" tanya Sandara langsung pada inti begitu nada sambung terhenti. Ia sudah tidak memiliki akses masuk ke dalam apartemen lelaki itu. Oleh karenanya, Sandara memilih menunggu di depan lobi dan meminta Ares turun untuk menemuinya.
"Sebentar ya, kena macet."
Sandara mengernyit. "Macet? Kan, aku minta ketemuan di apartemen kamu aja. Kamu nggak keliru baca pesan aku semalam, kan?"
"Nggak kok. Sebentar ya, San."
"Oke," jawab Sandara sedikit bad mood. Bagaimana tidak? Tadi malam perempuan itu sudah menghubungi Andi untuk memberi tahunya terkait gosip "gay" yang melanda Ares kian tidak terkendali dan sang manajer mengatakan padanya untuk bicara pada Ares langsung.
Di sinilah ia sekarang. Jauh-jauh datang dari indekos barunya untuk bertemu dengan Ares yang malah pergi ke luar ketika mereka telah membuat janji.
Sesungguhnya, tidak lama kemudian ia melihat mobil Ares muncul dan berhenti di depannya, tapi Sandara tetap merasa sedikit kesal. Terlebih ketika lelaki itu turun dari mobilnya yang terlebih dulu dipinggirkan agar tidak menghalangi jalan kendaraan penghuni lain dan mengajak Sandara berbicara di dalam Range Rover tersebut alih-alih menyuruhnya untuk masuk ke dalam unit selayaknya menyambut tamu.
"Aku nggak mau lama-lama. Cuma mau peringatin kalau kamu sebaiknya segera lapor ke agensi soal tuduhan 'gay' itu nggak benar karena 'diamnya' kamu udah dimanfaatin sama Katy," ujar Sandara, langsung pada inti begitu ia telah duduk di samping Ares.
"Kamu marah?"
Sepasang alis Sandara sontak bertaut. "Perasaan aku ngomong biasa aja," ucapnya, tidak keliru. Ia memang berusaha semaksimal mungkin agar tidak terdengar ketus sekalipun sudah dibuat kesal.
"Maaf. Butuh waktu soalnya buat sampai ke sini." Ares berusaha menjelaskan.
Sandara membuang pandangan ke luar jendela mobil seolah ada hal yang lebih menarik di luar. "Nggak usah dibahas," jawabnya singkat. Benar, Sandara tidak ingin membahas hal tersebut karena hanya akan semakin membuat suasana hatinya memburuk.
Seakan tidak peduli, Ares tetap melanjutkan, "Aku udah nggak tinggal di sini lagi, San."
Pernyataan itu sanggup membuat kepala Sandara menoleh dengan cepat, kembali menaruh perhatian pada Ares. "Hah?"
Ares yang memang tidak mengenakan maskernya, tersenyum simpul dan mengangguk kecil. "Jadi, maaf sekali lagi karena kita harus bicara di dalam mobil kayak gini."
"Kamu pindah maksudnya?" Rasa kesal Sandara pun berubah menjadi rasa penasaran saat Ares mengiyakan pertanyaannya barusan. "Kenapa?"
Jantung Sandara berdebar kencang. Ia tahu, apartemen tersebut memiliki banyak sejarah manis hingga pahit akan masa lalu seorang Ares Pramudya, bahkan tentang perjalanan karier lelaki itu hingga seperti saat sekarang ini. Lantas, apa yang membuatnya memutuskan untuk meninggalkan semuanya?
Ares mengangkat bahu lantas menyandarkan kepalanya pada bantalan kursi balik kemudi. "Aku udah benar-benar selesai sama semua kenangan yang ada di sana."
"Apa yang ngebuat kamu mutusin buat ninggalin semua itu?" tanya Sandara, penasaran.
Sandara siap mendengarkan namanya tercetus dari bibir ranum Ares. Namun, kenyataannya tidak sesuai dengan dugaan.
"Aku." Ares mengembuskan napas dan kembali menatap lurus Sandara. "Maaf ngecewain kamu, San. Maaf kalau aku kedengaran egois. Tapi menurutku, kalau aku sampai ninggalin semua itu cuma karena aku sayang kamu, aku bakal ngecewain kamu juga nantinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomantikBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...