Daemon membantu Sandara terduduk di sofa dengan hati-hati. Polisi sudah datang dan menangkap Riko kembali beserta kendaraannya—yang ternyata merupakan mobil curian. Sungguh seorang berandal! Pemuda itu berharap, Riko mendapat hukuman seberat-beratnya.
"Makasih." Sandara tersenyum tulus. "Aku pikir, aku bakal mati hari ini," bisiknya, yang masih terdengar jelas oleh Daemon, bahkan Meera yang kini sedang berdiri di depan jendela dengan posisi memunggunginya.
Sandara memaklumi itu. Terlebih, Meera datang di saat Riko meneriaki nama "Sabrina" padanya.
"Kenapa nggak ngelawan?" tanya Daemon, datar.
Sandara menggeleng lemah. "Nggak punya tenaga."
Kening pemuda itu lantas mengernyit. "You're not Sandara, are you?" tebak Daemon, bukan tanpa alasan.
Sandara bukanlah sosok yang akan tinggal diam ketika ada yang menyerang apalagi melukainya. Daemon pun berasumsi, Sandara yang kini berhadapan dengannya bukanlah Sandara yang selama ini ia kenal. Karena perempuan itu tidak akan rela masuk dalam permainan yang membahayakan dirinya sendiri. Seperti apa yang "Sandara" ini lakukan. Ya, jika memang semua ini hanyalah tipuan.
Daemon terkesiap saat kepala Sandara mengangguk, menyetujui tanpa bantahan. "Iya. Dan nggak akan pernah bisa jadi dia," akunya. Menyadari bahu Meera yang tertangkap dari sudut mata, menegang seketika.
"Jadi, kamu Sabrina?"
Anehnya, Sandara justru menggeleng menjawab pertanyaan Daemon. "Aku udah buang nama itu jauh-jauh dari kehidupan aku." Lalu ia mengalihkan pandangannya pada punggung Meera yang masih setia membelakanginya. "Karena nama itu udah bikin semua orang menderita."
Daemon terduduk lemas di sofa lainnya dengan wajah yang sarat akan kebingungan. "Tapi kenapa ... tato itu ..."
Mengetahui apa yang tengah Daemon pikirkan, Sandara pun berkata, "Aku memang punya tato itu. Tato yang persis kayak kamu. Tatonya Sandara."
Daemon terkejut. Terlebih saat perempuan itu segera memperlihatkan tatonya dengan membuka jaket dan menurunkan sedikit tanktop bagian belakangnya tanpa ragu. "H-how?"
Dan Sandara mulai menjelaskan. Kisah yang membuat Meera turut larut dan perlahan mulai berani menatap sang pencerita.
***
"I just found a new target."
Sabrina mengerjap-ngerjap. "Target?"
"Bara."
"Bara?" Sabrina semakin bingung dibuatnya.
"Kamu nggak tahu dia?" Kemudian Sandara menjelaskan, "Al Barra Salim, adiknya pacar dari laki-laki yang kamu suka."
Sabrina menggeleng. "Nggak ada hubungannya sama aku."
"Ada. Kalau kamu mau hidup melarat kamu berubah." Sandara tersenyum miring. "Kamu harus dekatin Bara dan manfaatin dia. Itu juga bisa bikin Jannah uring-uringan. 1 tepuk, 2 lalat kena," ujarnya, tidak menanggapi ucapan Sabrina.
Sabrina menggeleng kuat. "Aku nggak mau. Jangan libatin aku."
Sandara memutar mata. "Fine! Aku bakal lakuin sendiri."
Sebelum Sandara sempat pergi dari hadapannya, Sabrina dengan sigap menahan lengan perempuan itu. "Jangan jadi benalu di kehidupan orang lain, Sandara," tegur Sabrina.
"Dan berakhir punya kehidupan kayak kamu?" Sandara tersenyum remeh. "Look, aku cuma berbaik hati mau bantu kamu—"
"Aku nggak berharap dibantu kalau begitu," ucap Sabrina, tegas. "Lagian, aku udah lupain Hamish. Kamu lihat sendiri, aku sekarang udah tinggal sama Riko dan mencoba hidup bahagia sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold #4
RomanceBehind The Salim Series Book #4 Memiliki wajah yang mirip dengan masa lalu buruk keluarga Salim, membuat Sandara harus menerima kenyataan pahit bahwa ia tidak akan pernah bisa melibatkan perasaan pada sosok yang telah mengeluarkannya dari kehidupan...