(11) 1. Tidak Ada Yang Lebih Menakutkan Ketimbang Tidak Bersama 6

459 68 10
                                    

"Farrel."

Ada sesuatu yang berbeda di suara Esy pagi itu. Ketika hari masih berada di angka tujuh dan keadaan cewek itu mengindikasikan kelemahan tanpa ada tenaga sama sekali.

Farrel sudah tiba di Ruang 5 sekitar sepuluh menit yang lalu. Kebetulan ia adalah komti untuk mata kuliah matematika. Hal tersebut membuatnya harus datang lebih awal untuk menyiapkan kelas. Setidaknya demi memastikan proyektor dalam keadaan baik.

Berbeda dengan sekolah di mana hanya ada seorang ketua kelas yang bertanggungjawab untuk semuanya, di perkuliahan sebaliknya. Untuk setiap mata kuliah yang berbeda maka mahasiswa yang bertanggungjawab pun berbeda. Dan mereka dikenal dengan sebutan komti.

Untuk Farrel sendiri ada dua mata kuliah yang menjadi tanggungjawabnya. Yaitu, matematika dan juga bahasa Inggris.

"Aku rasanya lemas banget. Aku kayaknya kena 5L."

Datang-datang dan langsung duduk di sebelahnya, Farrel mendapati sikap Esy tampak beda. Ia menaruh wajahnya di atas meja. Membuang napas dan itu mendorong Farrel bertanya.

"5L?"

Masih dengan wajah di atas meja, Esy mengangguk. "Lemah, letih, lesu, lelah, dan lunglai."

Farrel hanya menarik napas dan geleng-geleng kepala. Tapi, ia menebak.

"Gara-gara tugas matematika?"

Esy manyun. "Gara-gara tugas matematika, bahasa Inggris, biologi, dan pengantar ilmu pertanian."

Bibir Esy mengerucut. Dahinya tampak mengerut. Hingga kemudian ekspresi kesal itu pun tersuarakan.

"Kenapa sih semuanya harus dikumpul hari Senin? Kenapa nggak pas jam kuliahnya? Aku sampe tidur jam tiga malam tadi," ringis Esy. "Hiks. Jam tiga itu masih termasuk malam atau menjelang pagi ya?"

"Matahari belum terbit. Jadi ya masih bisa disebut malam."

Perkataan Farrel sama sekali tidak membantu Esy. Ringisan cewek itu semakin menjadi-jadi.

"Aku nggak bisa tidur nyenyak gara-gara tugas kuliah."

Farrel melirik. Ketika Esy sudah mulai mengeluh, itu bisa dipastikan tidak akan berlangsung dalam waktu singkat. Ia harus mulai menebalkan telinga.

"Jadinya aku nggak bisa mimpiin kamu, Rel."

Farrel mengerjap. Tapi, ia tidak mengomentari perkataan Esy.

"Aku kesiangan. Aku bahkan harus mandi nggak sampe sepuluh menit. Karena aku takut datang telat dan kursi di sebelah kamu diisi sama orang lain."

Wah! Farrel hanya bisa melongo.

"Dan karena itu aku cuma sarapan roti tawar aja."

Ringisan Esy dengan cepat berubah menjadi rengekan. Ia memeluk perut.

"Aku mau makan nasi uduk, Rel. Yang di depan kosan kamu itu loh. Tahu isinya enak."

Farrel membuang napas panjang. Melihat sekilas ke arah pintu dan mendapati beberapa orang teman mereka sudah datang. Kelas akan dimulai sebentar lagi.

"Kalaupun aku mau beliin kamu nasi uduk," ujar Farrel kemudian. "Kayaknya nggak bisa. Kelas udah mau mulai."

Wajah Esy seketika terangkat dari meja. Mendadak saja senyum mengembang di sana. Kesan lesu benar-benar tak tampak sama sekali ketika ia bertanya dengan semangat.

"Abis kelas matematika gimana? Kita punya waktu sekitar dua puluh menit sebelum masuk kelas agama."

Rasa-rasanya ada penyesalan yang terbit di benak Farrel. Bahkan sekarang ia ragu. Apakah Esy benar-benar tidak sarapan dan bangun kesiangan seperti yang ia katakan atau sebaliknya?

Mata Farrel dengan cepat mengamati. Pada rambut Esy yang diikat seadanya. Tidak ditata feminin seperti biasanya.

Mungkin dia memang kesiangan.

Akhirnya, Farrel hanya mengangguk. Tapi, mengabaikan senyum semringah Esy, ia lantas berdiri.

"Kamu mau ke mana?"

"Keluar bentar. Mau lihat Pak Zidan udah datang atau belum."

Demi apa? Wajah semringah Esy seketika menghilang.

"Ya Tuhan. Pagi ini Pak Zidan yang ngajar. Kenapa hari Senin harus diawali sama Pak Zidan? Kenapa ya, Tuhan? Kenapa?"

Farrel memutuskan untuk segera beranjak dari sana. Membiarkan Esy kembali mengeluh seorang diri.

Tiba di luar, Farrel belum mendapati tanda-tanda kehadiran Zidan. Itu membuat ia merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel demi memastikan bahwa tidak ada pesan dari Zidan.

Biasanya dosen akan menghubungi komti apabila tidak bisa mengajar atau harus datang terlambat. Tapi, tidak ada pesan yang Farrel terima. Dan itu mengindikasikan bahwa sepertinya Zidan dalam perjalanan.

Ponsel Farrel berdering. Tepat ketika ia akan memasukkan benda itu kembali ke satu celananya. Dan satu nama yang muncul di sana membuat ia segera menepi. Mencari tempat yang sedikit sepi.

"Halo, Mas Bara."

Ternyata adalah Bara Pangalila yang menelepon Farrel. Kakak Esy yang sudah berusia 23 tahun dan saat ini tengah disibukkan dengan penyusunan skripsi.

"Halo, Rel. Kamu sekarang lagi di mana? Di kampus?"

"Iya, Mas," jawab Farrel. "Kenapa?"

"Kamu bareng Esy nggak? Soalnya dari tadi Mama telepon, tapi hp-nya nggak aktif. Aku telepon juga. Dan ternyata memang nggak aktif."

"Iya, Mas. Aku bareng Esy kok. Sekarang dia lagi di kelas. Ini aku kebetulan keluar bentar."

Farrel dengan cepat mengingat. Dan sepertinya ia paham dengan apa yang terjadi.

"Malam tadi Esy begadang buat tugas. Bangunnya kesiangan dan aku rasa dia lupa nge-charge hp-nya."

Terdengar helaan napas lega Bara di seberang sana.

"Ya Tuhan. Untunglah. Aku pikir dia kenapa-napa. Mama juga udah panik Esy nggak bisa dihubungi. Kami pikir dia sakit."

"Nggak, Mas. Esy baik-baik aja. Cuma pagi ini dia nggak sempat sarapan. Paling abis kelas ntar aku ajak dia cari sarapan."

"Makasih banyak, Rel. Kami nggak tau harus gimana kalau nggak ada kamu."

Untuk yang satu itu, Farrel diam saja.

"Dan ..."

Suara Bara terdengar lagi. Membuat Farrel mengerjap sekali. Jelas ia bisa menangkap ada yang beda.

"... kami minta maaf, Rel. Kami harus merepotkan kamu. Ya ... kamu tau sendiri Esy itu gimana. Dia benar-benar keras kepala dan nggak bisa ngukur kemampuan diri sendiri."

Farrel diam. Dengan mata yang sesekali melihat ke parkiran demi memastikan Zidan belum datang, ia menyimak perkataan Bara.

"Kami udah berusaha biar dia nggak daftar ke kampus Cakraloka. Tapi, kamu juga pasti tau gimana dia yang nggak bisa jauh dari kamu. Aku bahkan sudah mati-matian membujuk dia biar ikut kuliah di sini sama aku saja. Cuma dia benar-benar nggak mau."

Farrel tidak perlu penjelasan itu. Bahkan tanpa dijelaskan, ia pun sudah tahu. Sama dengan keluarga Esy yang juga tahu bahwa Farrel memang sengaja ingin masuk fakultas Pertanian demi bisa menghindari Esy.

Keluarga Esy tidak menyalahkan Farrel. Mereka memaklumi posisi Farrel. Bila mereka adalah Farrel, tentu saja mereka akan melakukan hal yang serupa. Diikuti ke mana-mana nyaris seumur hidup tentunya membuat siapa pun merasa tak nyaman.

"Sebenarnya aku nggak mau ngomong ini. Bisa dikatakan aku malu," lanjut Bara kemudian. "Tapi, tolong jaga Esy, Rel."

Farrel tertegun. Dari kejauhan, ia bisa melihat mobil Zidan.

"Cuma kamu yang kami percaya."

*

bersambung ....

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang