(48) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 17

381 69 30
                                    

"Farrel."

Esy tersenyum cerah keesokan hari. Ia bahkan melambai menyambut kedatangan Farrel di kosnya. Berbeda sekali dengan sikap Farrel yang tampak sebaliknya.

Esy mengulum senyum. Mengambil alih helm seraya bertanya.

"Gimana wawancara radio semalam? Aku mau dengar, tapi aku ketiduran."

Farrel mendengkus dengan ekspresi ragu. "Memangnya aku bakal percaya?"

Senyum Esy berubah menjadi gelak. Ia memang tidak berniat untuk berbohong. Hanya ingin menggoda Farrel saja.

"Buat malu saja," gerutu Farrel.

Esy duduk di belakang Farrel dan dua detik kemudian motor pun melaju. Meninggalkan kos Esy.

"Aku kan cuma mau tau, Rel. Sebenarnya tipe kamu itu gimana," ujar Esy santai. "Soalnya aku mau memantaskan diri."

Farrel merinding. Seperti yang ia bonceng bukanlah Esy, alih-alih kuntilanak yang menyaru. Ia mengusap tengkuknya sekilas, lalu berkata.

"Kamu nggak perlu memantaskan diri."

Esy mengerjap. Kepalanya sedikit melongok di atas pundak kiri Farrel.

"Segitu nggak ada harapannya ya buat aku bisa jadi pacar kamu, Rel?" tanya Esy. "Padahal kan aku cewek baik-baik."

Bola mata Farrel berputar malas. "Pagi ini katering kos kamu masak apa sih? Aku pikir lebih baik kamu sarapan nasi uduk saja."

Esy tergelak. Tapi, sepertinya ia agak setuju dengan perkataan Farrel.

"Masakan katering kos enak. Cuma nasi gorengnya rada keasinan menurut aku. Ehm padahal aku anak pantai. Tapi, aku nggak suka asin."

Farrel tidak membalas lagi perkataan Esy. Lantaran parkiran gedung kuliah sudah di ambang mata. Tak butuh waktu lama, mereka pun tiba.

Hari itu jadwal mereka lumayan padat dari pukul delapan hingga empat. Diselingi praktikum sebanyak dua SKS dari pukul delapan hingga dua belas. Dari praktikum lapangan dan dilanjutkan praktikum di laboratorium hanya untuk satu mata kuliah. Yaitu, Tanaman Pangan.

Esy sudah membayangkan bahwa mata kuliah dengan enam SKS itu pasti akan menguras tenaga. Bukan hanya teori yang harus diikuti selama empat jam dalam seminggu dengan total 200 menit. Melainkan ada praktikum lapangan selama 100 menit dan praktikum laboratorium selama 100 menit pula.

Kalau bukan karena Farrel, aku pasti nggak bakal masuk Pertanian. Bayangkan saja. 400 menit cuma untuk satu mata kuliah.

Esy menghirup udara dalam-dalam. Ia tidak bisa membayangkan kalau mata kuliah yang satu ini gagal. Ia pasti menangis darah.

Maka dari itu Esy berusaha untuk tekun dan fokus. Terlebih lagi ketika merumput dan mencangkul.

"Wah! Kamu sudah pintar merumput ya? Kamu juga sudah bisa nyangkul walau aku rada ngeri lihatnya."

Esy berpaling dengan cemberut di wajahnya. "Kak Ryan ini sebenarnya jadi asdos apa saja sih? Perasaan ada di mana-mana."

Tawa Ryan pecah. Dengan satu tangan yang masuk di saku jaket kulit hitam kesukaannya, ia menunjuk pada petakan lahan Esy dengan map plastik yang ia pegang.

"Itu itu. Jangan lupa rumput di siringnya juga dibersihkan. Kalau mendadak ada hujan deras, bisa-bisa petakan kalian ntar terendam. Ah! Sekalian nanti cangkul lagi kalau merasa siringnya jadi dangkal."

Esy cemberut. Tapi, ia tetap mengangguk.

Ryan memerhatikan sebentar pekerjaan Esy dengan teman kelompoknya, Fajar. Dalam hati ia merasa geli. Sepertinya takdir benar-benar tidak ingin melihat Esy dan Farrel satu kelompok.

Dan berbicara soal itu, Esy semakin cemberut. Tatkala ia melihat lagi-lagi Dira dan Farrel satu kelompok.

Hal tersebut membuat Esy kesal setengah mati. Hingga ia melampiaskan kekesalannya pada rumput-rumput yang tak bergoyang itu. Menyianginya dengan membabi buta.

Bisa-bisanya sih aku nggak sekelompok lagi sama Farrel. Ini sebenarnya yang tega siapa sih? Takdir atau Kak Abid?

Esy menatap tajam pada Abid yang baru saja menghampiri Ryan. Mereka tampak berdiskusi singkat seraya menunjuk beberapa petakan praktikum.

Saat itu mendadak saja Abid meremang. Ia mengusap tengkuknya dan celingak-celinguk. Hingga tatapannya bertemu dengan Esy.

Abid mengerjap. "Apa? Kamu mau nanya sesuatu?"

"Nggak," jawab Esy cemberut.

Membuang napas panjang, Esy lanjut menyiangi rumput di petakannya bersama dengan Fajar. Setelahnya ia bangkit dan mengambil cangkul.

"Sy," panggil Fajar dengan khawatir. "Kamu yang mau nyangkul?"

Esy mengangguk. Ia langsung turun ke siring petakan. Kedua kakinya yang mengenakan sepatu tabung, memasang kuda-kuda.

"Iya," ujar Esy. Tangannya sudah memegang gagang cangkul dan mengangkatnya. "Aku harus melampiaskan emosi aku pagi ini!"

Fajar sontak memejamkan mata. Tepat ketika Esy mengayunkan cangkul dan mata cangkul yang tajam itu mendarat di tanah. Esy menariknya dan tanah terangkat.

Sekali. Dua kali. Esy terus maju mengelilingi petakan itu. Mencangkul di bawah cahaya matahari yang mulai terik. Tak peduli dengan keadaan sekitar. Bahkan ketika dua asisten dosen mulai membicarakannya.

"Kenapa sama dia?" tanya Abid masih dengan perasaan tak enak. "Kok aku merasa kayak dia lagi ngamuk ya?"

Ryan mendengkus geli. Bersedekap, tapi ia tetap memaksa diri untuk menyikut Abid.

"Masih nanya? Jelas saja dia ngamuk. Dan ini lagi-lagi karena kamu, Bid."

Abid melongo. "Aku?"

"Iya," jawab Ryan seraya melihat temannya itu. "Kamu nggak lupa kan? Kalau sebulan yang lewat kamu buat Farrel dan Dira satu kelompok lagi sementara dia sekelompok sama Fajar."

Sontak Abid menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Lalu samar terdengar ia melirih.

"Pantas saja tiap praktikum Pangan bawaan dia kayak mau makan orang."

Ryan tertawa. "Tapi, nggak apa-apa. Karena dia emosi, jadinya dia malah semangat praktikum."

Ryan membuka map plastik di mana ada absensi praktikum. Tak hanya berguna untuk mendata kehadiran, tapi di sana ada banyak titik dan simbol lainnya.

"Keaktifan praktikum hari ini ...," ujar Ryan seraya memberikan titik di absen Esy. "... bagus."

Abid mengerutkan dahi. Ia menelengkan kepala ke satu sisi ketika berpikir.

"Kalau begitu ... praktikum lapang semester depan, kita jadikan Farrel dan Dira satu kelompok lagi saja ya?"

Ryan tertawa. Ia memukul punggul Abid.

"Bener banget!"

Esy yang baru saja memperbaiki siring petakan, menoleh. Melihat Abid dan Ryan yang tertawa-tawa entah mengapa membuat ia tambah emosi saja.

Sementara itu di seberang sana ada Farrel yang tampak membuang napas lega. Entah sadar atau tidak, tapi Farrel merasa dirinya yang tegang ketika Esy mencangkul tadi.

Ya ampun, Sy.

*

Waktu terus berputar. Sekarang Esy sedang berdiri di belakang Nathan. Diam ketika sang dosen memberikan nasihat.

"Saya minta maaf kalau selama praktikum ada salah-salah. Jangan lupa belajar dan jaga kesehatan. Semoga UAS kalian sukses."

Itu adalah praktikum terakhir. Menjadi tanda bahwa masa ujian akhir semester akan segera tiba.

Namun, tugas Esy sebagai asisten dosen belum berakhir. Ia harus membantu Nathan untuk mendata nilai praktikum. Menyerahkannya pada Nathan untuk diolah bersama nilai lainnya untuk menghasilkan nilai akhir.

Di sela-sela itu, Esy tetap memprioritaskan untuk belajar. Sama seperti semester terdahulu, ia belajar dengan tekun. Dan sama seperti semester terdahulu pula, Zidan pun harus memuji Esy.

"Selamat. IP kamu semester ini meningkat lagi, Sy."

*

bersambung ....

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang