Farrel bergeming untuk beberapa saat. Tidak turut menikmati bakso yang sudah tersaji di hadapannya, tatapan matanya justru tertuju pada Esy. Ia terlihat begitu semangat meracik kesap, saus, dan sambal. Mengaduknya hingga rata dan menyesap kuahnya demi yakin bahwa baksonya belum sepedas yang ia inginkan.
Esy mengambil sesendok sambal lagi. Mengaduknya dan kembali mencicipi hingga menerbitkan seulas senyum puas di wajah.
"Oke," lirih Esy entah sadar atau tidak. "Udah pas."
Tak butuh waktu lebih lama, Esy langsung menikmati pentol bakso pertama. Ia mengunyah dengan diselingi menyesap kuah bakso berulang kali. Tampak amat menikmati hingga ia tersadar akan sesuatu. Yaitu, Farrel yang sedari tadi melihatnya bergeming.
"R-Rel."
Esy mengerjap. Mulutnya yang sempat menganga sontak menutup kembali, perlahan. Sementara garpu yang membawa sebuah pentol bakso pelan-pelan turun kembali ke mangkuk.
"Kamu nggak makan?" tanya Esy seraya melihat pada mangkuk bakso Farrel yang belum tersentuh. "Kenapa? Kamu sudah bosan makan bakso?"
Farrel membuang napas panjang. Ia menggeleng samar dan meraih botol kecap. Tak menjawab pertanyaan Esy, ia justru menanyakan hal lain sembari meracik bakso.
"Ngomong-ngomong ... kamu ada dengar gosip baru nggak?"
Semula Esy yang mendapat gelengan Farrel berniat untuk lanjut menikmati bakso, tapi pertanyaan itu menarik perhatiannya. Ia kembali menaruh sendok dan garpu di mangkuk. Melihat pada Farrel yang meliriknya singkat.
"Gosip?"
Farrel menaruh kembali botol kecap. Kali ini ia benar-benar melihat Esy dengan serius. Matanya menyipit, tapi tetap tak mampu mengaburkan sorot harapan di sana.
"Nggak tau?" tebak Farrel.
"Ah!"
Esy melirih penuh antusias. Matanya tampak berbinar-binar hingga tanpa sadar bertepuk tangan sekali. Membuat sorot harapan di mata Farrel meredup seketika.
"Kamu tau?"
"Iya," angguk Esy. "Aku baru dengar kemaren. Masa katanya Bu Vanessa bakal nikah sama Pak Zidan?"
Farrel mengerjap. "Hah?"
"Bener kan? Kamu juga kaget kan? Apalagi aku, Rel. Gimana ya? Pak Zidan itu PA aku. Walau dia killer dan menakutkan, tapi sebenarnya dia baik. Cuma ... ya tetap saja. Apa nggak kasihan sama Bu Vanessa kalau dapat suami kayak Pak Zidan? Ehm aku cuma khawatir aja nanti setiap pengeluaran Bu Vanessa bakal diperiksa pake tabel z," kata Esy panjang lebar.
Farrel bengong. Ia hanya melongo mendengar perkataan Esy.
"Rel?" panggil Esy seraya mengibaskan tangannya sekali di depan wajah Farrel, khawatir cowok itu tengah melamun. "Kenapa?"
Farrel mendengkus. Ia geleng-geleng seraya menyeringai geli.
"Itu gosip yang kamu tau?" tanya Farrel.
Wajah penuh semangat Esy menghilang. Ia tampak berpikir dengan bola mata yang liar berputar ke sana kemari. Tak yakin, ia malah balik bertanya.
"Memangnya ... ada gosip yang lain?"
Seringai geli Farrel berubah menjadi kekehan samar. "Nggak ada," gelengnya. "Memang cuma itu kok gosip yang belakangan ini kedengaran."
Esy ingin percaya, tapi sikap Farrel membuatnya curiga. Alhasil ia jadi penasaran dan menyisihkan sejenak mangkuk bakso sementara Farrel mulai menikmati suapan pertama.
"Rel, jujur deh. Ada gosip apa? Aku mau tau," kata Esy mendesak.
Farrel mendeham, tapi ia tetap menggeleng. "Bener. Memang cuma itu sih gosip yang aku dengar. Nggak ada yang lain."
Mata Esy menyipit. Mulutnya mengatup rapat dengan tatapan yang terus tertuju pada Farrel. Ia tampak tenang dan tidak terlihat tengah berbohong. Namun, entah mengapa Esy merasa Farrel tak pula sepenuhnya jujur.
"Serius?" tanya Esy lagi.
Farrel mendengkus geli. "Serius. Memangnya untuk apa aku bohongi kamu soal gosip?"
Esy mengerjap berulang kali. Pembelaan itu terdengar logis dan masuk akal. Akhirnya ia pun mengangguk.
"Ehm kayaknya sih iya. Lagian kalaupun ada gosip, kayaknya pasti aku duluan yang tau timbang kamu."
Kali ini Farrel mengangguk. "Tentu saja. Kalau kamu nggak dengar apa pun, ya ... artinya memang nggak ada gosip."
Lagi-lagi terdengar logis dan masuk akal. Esy pun sependapat dengan perkataan Farrel. Pun Farrel tidak terlihat memiliki tujuan apa pun sehingga harus menyembunyikan gosip darinya. Terlebih lagi karena Farrel tidak pula mengikuti perkembangan gosip di kampus, berbanding terbalik dengan Esy.
"Ehm."
Farrel menyajikan kembali mangkuk bakso yang sempat Esy sisihkan. "Ayo, makan lagi. Kan kamu sendiri yang ngomong tadi. Selesai kerjai tugas Rancob buat kamu kelaparan."
"Ah, benar," ujar Esy horor. "Mulai minggu depan materi bakal masuk ke BNT dan DMRT."
"Oh, uji lanjut," imbuh Farrel.
Esy mengangguk. "Jadi kata Pak Zidan, yang sering dipakai itu memang dua pasang ini. Kalau rancangan itu RAL dan RAKL, kalau uji lanjut itu BNT dan DMRT. Jadi pokoknya harus bener-bener menguasai ini biar gampang ke depannya."
"Yang dibilang Pak Zidan memang benar sih," ujar Farrel. "Jadi kamu harus belajar dengan tekun dan teliti dari sekarang."
"Tentu saja. Aku kan lihat rencana pembelajaran semester Rancob, terus ada yang namanya split plot. Ehm kayaknya itu rumit deh. Ada pakai anak petak dan induk petak apa ya? Aku nggak ngerti."
"Oh, itu rancangan faktorial. Dia punya dua faktor buat diuji. Jadi di dalam petak utama nanti bakal ada petak-petak kecil yang disebut anak petak," jelas Farrel.
Sendok dan garpu di tangan Farrel bergerak. Ia menunjuk pentol bakso berukuran besar di mangkuk.
"Kayak gini. Di dalam bakso yang besar ada bakso-bakso yang kecil. Bakso yang besar itu faktor pertama, bakso yang kecil itu faktor kedua."
Esy melirih dengan penuh irama. "Oh, begitu. Kayaknya rancangan ini lebih rumit dan buat capek di lapangan ya?"
Tak menjawab pertanyaan itu, Farrel justru terkekeh.
"Sudahlah. Nanti kamu juga belajar. Nggak terlalu rumit kalau kamu pelajari dengan santai," ujar Farrel seraya lanjut makan kembali.
"Kalau aku belajarnya santai, aku jamin deh aku nggak bakal bisa," balas Esy tanpa peduli Farrel yang nyaris tersedak karena perkataannya. "Statistika aja butuh empat kali keseriusan aku, apalagi Rancob?"
Angin malam berembus. Esy bergidik. Namun, bukan karena dingin sih. Melainkan karena ia ngeri dengan satu bayangan di benaknya.
"Amit-amit ya, Tuhan. Aku nggak mau sampe membuktikan keseriusan aku sama Rancob sampe empat kali."
Terdengar menggelikan, tapi Farrel tahu itu adalah doa yang sesungguhnya. Alhasil ia pun kembali menjeda makannya. Ia menatap pada Esy.
"Tenang. Kali ini beda dengan yang dulu," kata Farrel yakin. "Kamu sekarang lebih fokus. Jadi kayaknya Rancob nggak butuh pembuktian kamu sampai empat kali."
Esy tampak ragu. "Lebih fokus?"
Sekali, Farrel mengangguk. Lagi-lagi dengan keyakinan yang membuat Esy semakin bertanya-tanya.
"Maksudnya ... lebih fokus gimana? Perasaan aku, dari dulu aku juga fokus kok."
"Ehm," deham Farrel. "Ya lebih fokus."
Esy bergeming. Kian ragu dengan perkataan Farrel sehingga membuat cowok itu berpikir sejenak. Lantas ia berdecak dan berkata.
"Kamu lebih fokus. Kamu lebih mikir kuliah dan nggak urusi hal-hal yang lain. Ya ... bisa dibilang kamu balik jadi Esy yang dulu lagi."
Bukannya jelas, ucapan Farrel selanjutnya justru membuat Esy kian kebingungan. Apalagi karena Farrel lantas tersenyum padanya.
"Aku senang karena kamu sudah balik jadi Esy yang dulu lagi."
*
bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Farrel! "FIN"
Подростковая литератураNomor Peserta: 095 Tema Yang Dipilih: Campus Universe Blurb: Untuk urusan keteguhan hati, Esy Handayani dan Farrel Anantara memang nggak ada duanya. Mau lihat buktinya? Bukan lagi setahun atau dua tahun, Esy sudah menyukai Farrel bahkan ketika merek...