(15) 1. Tidak Ada Yang Lebih Menakutkan Ketimbang Tidak Bersama 10

456 60 17
                                    

"Farrel!"

Esy dengan senyum lebar nan cerah menyapa Farrel pagi itu. Mengimbangi langkah cowok itu ketika melintasi koridor, ada catatan Bahasa Inggris di tangan Esy.

Itu adalah hari pertama Ujian Tengah Semester. Dengan mata kuliah Bahasa Inggris yang akan diujikan pukul sepuluh nanti.

"Kamu udah belajar?" tanya Farrel seraya melihat pada catatan yang Esy bawa.

Esy mengangguk. "Udah. Sekarang ini aku lagi ngulang-ngulang dikit aja," jawabnya. "Tenang aja. Aku pasti bisa melewati semua ujian dengan sukses."

Esy mengangkat satu tangannya. Jemarinya mengepal. Menunjukkan tekad yang membuat Farrel angguk-angguk kepala.

"Karena cuma dengan begitu aku bisa bertahan di sini."

Langkah kaki Farrel terhenti seketika. Begitu pula dengan Esy. Yang ketika menyadari Farrel tak lagi melangkah maka ia turut berhenti.

"Sy," lirih Farrel tak berdaya.

Esy tersenyum. "Tenang aja. Kamu nggak usah mikir ke mana-mana. Pokoknya selagi aku masih mampu, aku bakal berjuang."

Farrel benar-benar dibuat bingung. Haruskah sepagi itu ia mendapatkan ungkapan perasaan yang tersirat?

"Ehm," deham Farrel. Ia melihat ke sekeliling dan menyadari keadaan gedung kuliah yang sepi.

Tidak ada mahasiswa yang biasanya memenuhi koridor seperti biasanya. Pasti karena itu sedang masa ujian. Beberapa mahasiswa menghabiskan waktu untuk belajar di perpustakaan. Juga petugas gedung kuliah memastikan tidak ada keramaian yang bisa mengganggu ketertiban selama ujian.

Mungkin itu adalah kesempatan yang tepat. Terlebih lagi Farrel tidak ingin semua berlarut-larut.

"Sy," ujar Farrel. "Kayaknya aku harus ngomong sesuatu sama kamu."

Senyum masih bertahan di wajah Esy. Ia mengangguk dengan ekspresi penuh pemakluman.

"Aku tau. Aku tau apa yang mau kamu bilang," kata Esy. "Kamu mau bilang kalau kamu nggak suka aku kan?"

Farrel terdiam. Ia memang bermaksud mengatakan itu. Tapi, tindakan Esy benar-benar membuat ia jadi serba salah.

"Nggak apa-apa kok. Nggak apa-apa kamu nggak suka aku sekarang. Tapi, siapa yang tau besok kan?"

Farrel menyerah. "Sy, kamu itu benar-benar ngabisin waktu. Aku cuma nggak mau kamu melakukan hal yang percuma. Lebih baik kamu kejar cita-cita kamu aja."

"Cita-cita aku itu kamu, Rel."

Ya Tuhan. Farrel syok.

"Masa selama ini kamu masih nggak sadar sih?" tanya Esy tanpa menunggu jawaban Farrel. "Cita-cita aku, tujuan aku, dan motivasi aku itu semuanya kamu."

Sadar, tentu saja Farrel sadar. Bagaimana ia tidak sadar kalau Esy selalu mengikutinya ke mana-mana? Bahkan hingga ke perguruan tinggi pun Esy memastikan ia berada di kampus yang sama dengan Farrel.

Sekarang harus dengan cara apa Farrel kembali mencoba meyakinkan Esy? Bahwa apa yang dilakukan cewek itu adalah hal yang sia-sia?

"Aku benar-benar nggak mau ngomong gini, Sy. Tapi, kayaknya aku nggak punya pilihan lain."

Farrel pasti akan merasa berdosa. Tapi, ia pasti akan merasa lebih berdosa lagi bila membiarkan Esy menyia-nyiakan hidup dan masa mudanya.

"Aku nggak ada perasaan apa pun sama kamu, Sy. Jadi aku mohon," pinta Farrel. "Lebih baik kamu berhenti. Aku nggak mau kamu menyia-nyiakan waktu kamu cuma buat aku."

Entah itu penolakan yang keberapa yang Esy terima. Pada kenyataannya ia tidak merasa sedih. Alih-alih ia justru bisa tetap tersenyum.

"Aku nggak menyia-nyiakan waktu aku kok. Buktinya sekarang aku bisa kuliah di kampus ternama kayak gini. Itu bukti kalau waktu aku nggak terbuang percuma kan?"

"Esy."

"Kamu masuk ke SMP unggulan. Karena aku mau bareng kamu, jadi aku harus belajar giat. Akhirnya aku bisa satu SMP dengan kamu walau nama aku nomor dua dari bawah," ujar Esy seraya mengingat masa lalu. Dan ia tersenyum geli.

Senyum geli itu semakin menjadi-jadi tatkala Esy ingat kenangan lainnya. Di saat ia harus begadang demi les pribadi. Hanya untuk satu tujuan. Bisa masuk ke SMA unggulan pula. SMA di mana Farrel sudah diterima melalui jalur khusus.

"Kamu lihat kan? Nggak ada satu pun di hidup aku yang percuma. Kalau itu berhubungan dengan kamu."

Yang dikatakan Esy memang benar. Praktis bisa disimpulkan bahwa semua yang Esy katakan memang benar semua. Adalah Farrel yang menjadi cita-cita, tujuan, dan motivasinya.

"Kalau aku nggak suka kamu," kata Esy lagi. "Kayaknya mustahil aku bisa masuk ke kampus keren kayak gini. Jadi ... bener kan pilihan aku?"

Sepintas, memang benar. Tapi, percayalah. Farrel tidak merasa begitu.

Pada akhirnya Farrel menyerah. Ia mengibaskan satu tangannya di depan wajah sekali. Mengirimkan gestur untuk tidak akan ambil pusing lagi.

"Suka-suka kamu aja deh, Sy. Aku udah capek ngomong sama kamu."

Esy terkekeh. Ketika Farrel kembali melangkah, ia pun turut berjalan kembali. Dan pada saat itu Esy menunjukkan buku catatannya.

"By the way, Rel. Aku masih agak bingung sama tenses ini deh. Bisa kamu jelasin bentar nggak?"

Farrel melihat Esy menyodorkan buku catatan padanya. Tanpa basa-basi, ia pun mengambil alih buku tersebut. Seraya memberikan isyarat untuk duduk di kursi yang tersedia di koridor.

Farrel menjelaskan formula tenses yang Esy maksud. Dan Esy pun mendengarkan dengan saksama. Dengan satu pemikiran yang melintas di benaknya.

Seandainya kamu nggak baik sama aku dari dulu, mungkin aku nggak sesuka ini sama kamu.

"Gimana?"

Suara Farrel menyentak kesadaran Esy. Ia mengerjap. Lalu mengangguk.

"Ngerti," ujar Esy. "Seperti biasa. Kalau kamu yang jelasin, aku pasti cepet ngerti."

Mata Farrel menyipit. Sedikit meragukan perkataan Esy.

"Kamu beneran nggak ngerti atau sebenarnya ngerti? Tapi, cuma mau ngerjain aku aja?"

Esy terkekeh pelan. "Nggak boleh nethink, Rel. Lagian tadi itu aku beneran nggak ngerti kok. Ehm ... kamu memang pantas banget jadi guru. Pasti anak-anak cepat ngerti kalau gurunya kamu."

Farrel diam. Ia menyerahkan kembali buku catatan Esy.

"Rel? Kenapa kamu mendadak diam?" tanya Esy seraya menebak di benaknya. "Kamu nggak mau jadi guru?"

Farrel masih diam. Dan itu membuat Esy bertanya lagi.

"Ngomong-ngomong ... cita-cita kamu apa?"

Farrel melihat jari-jari tangannya. Dalam pergerakan abstrak dan tidak tentu arah. Mungkin sama persis dengan apa yang Farrel rasakan saat itu.

"Nggak tau."

Esy melongo. Lalu ia mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali. Hingga ada kerutan muncul di dahinya dan ia menelengkan kepala ke satu sisi.

"Nggak tau?"

Farrel mendengkus tanpa ekspresi. Ia mengangguk seraya berpaling dan menoleh pada Esy.

"Iya," ujar Farrel. "Aku nggak tau apa cita-cita aku."

Kali ini Esy yang terdiam untuk beberapa saat. Dengan mulut yang mengerucut, sepertinya ia tengah merenungkan perkataan Farrel. Lalu Esy tersenyum.

"Nggak apa-apa walau nggak ada cita-cita. Yang penting kamu tetap melakukan apa yang kamu suka."

Farrel menoleh. Dan Esy menuntaskannya dalam satu kalimat.

"Yang penting kamu bahagia."

*

bersambung ....

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang