Farrel dan Dira baru saja selesai membuat media tanam. Setidaknya ada tiga ratus botol kultur yang mengisi meja. Mereka menunggu hingga agar di dalamnya mendingin dan barulah menutupnya dengan plastik, lalu mengikatnya dengan karet.
Bersama-sama, Farrel dan Dira menyimpan media kultur tersebut ke ruang penyimpanan. Suhu di dalamnya sudah diatur sedemikian rupa, rendah dan stabil dengan bantuan air conditioner.
"Habis ini kamu mau ke Perpus, Rel?"
Tak terduga, Dira melayangkan pertanyaan saat mereka sedang beres-beres di ruang persiapan. Kala itu Farrel tengah mengumpulkan sampai sementara Dira mencuci panci yang digunakan untuk memasak agar media.
"Perpus?" tanya balik Farrel dengan dahi mengerut.
Dira memutar keran hingga air berhenti mengucur. Ia mengangguk. "Iya. Bukannya akhir-akhir ini kamu sering ke Perpus ya?"
"Sering ke Perpus?" tanya Farrel lagi, lalu ia menggeleng. "Nggak kok. Esy yang sering ke Perpus belakangan ini, bukan aku."
Dira melirih singkat. "Oh, soalnya aku sering lihat kalian habis dari Perpus gitu. Aku pikir malah Esy yang temeni kamu di sana."
"Nggak. Aku nggak serajin dia buat sering datang ke Perpus."
Mengatakan itu, Farrel mengulum senyum kecil. Ia beranjak dengan sekantung sampah dan menaruhnya di tempat yang tersedia.
Dira membuang napas sekilas. Bergeming tanpa terlihat tanda-tanda ia akan merapikan peralatan yang baru selesai ia cuci, otaknya berputar. Berpikir singkat.
Seenggaknya mereka memang nggak bareng ke Perpus. Mungkin mereka memang nggak sedekat yang aku pikir.
Ada kelegaan yang membuat Dira kemudian tersenyum. "Atau ... gimana kalau kita ke Perpus, Rel? Tadi Bu Fatma suruh aku cari literatur gitu sih."
Siapa pun mengetahui bahwa akses internet di Perpustakaan memang yang terbaik dibandingkan tempat lain di kampus. Mencari artikel akan menjadi hal menyenangkan bila dilakukan di sana. Terlebih lagi Perpustakaan memiliki akses khusus untuk beberapa halaman penyedia jurnal ilmiah.
"Ehm," deham Farrel. Ia melihat jam tangannya sejenak. "Kayaknya aku nggak bisa ikut, Ra. Tadi Pak Nathan chat suruh temui beliau."
Ternyata kelegaan yang Dira rasakan tak berlangsung lama. Bahkan tanpa ada Esy, agaknya Farrel pun tidak ingin pergi dengannya.
"Oke," lirih Dira dengan rasa kecewa.
Farrel memandang sekitar. Memastikan bahwa semua tugasnya telah selesai, ia lantas berkata pada Dira.
"Aku duluan, Ra."
Dira hanya mengangguk. Melepas kekecewaannya dengan embusan napas panjang.
Farrel menyambar tas. Keluar dari sana. Meninggalkan Dira seorang diri yang terpekur seraya bersandar di dinding.
Farrel memang nggak peka atau gimana? Dari dulu aku dekati dia, tapi kenapa sikap dia masih datar-datar aja sih?
Dira sungguh tak percaya kalau Farrel sampai tidak menyadari ketertarikannya. Sedari awal pertama, bukankah Dira sudah memberikan sinyal yang teramat nyata?
"Aku pikir ..."
Suara Tiara terdengar lumayan kuat dibandingkan dengan kebiasaan pengunjung Perpustakaan pada biasanya. Mungkin karena saat itu mereka berada di lantai empat yang selalu lebih sepi dibandingkan dengan lantai lainnya.
"... Farrel memang tipe cowok yang nggak peka deh."
Monica mengangguk. "Benar-benar. Dia sama Esy aja gimana kan? Jadi kayaknya dia memang gitu."
"Tuh kan. Kamu nggak perlu khawatir, Ra," timpal Tiara lagi. "Aku yakin Farrel nggak bakal nolak kalau tau kamu suka dia."
Dira tampak ragu. Ia menatap bergantian pada kedua temannya itu.
"Menurut kalian gitu?"
Kompak, Tiara dan Monica mengangguk.
"Tentu saja. Kamu cantik dan pintar, gimana mungkin Farrel nggak suka?" tanya Monica dengan tersenyum yakin.
"Dibandingkan dengan Esy, ya jelas banget Farrel lebih milih kamu," tambah Tiara lagi.
Dira tersenyum geli. "Aku dibandingkan sama Esy? Ck. Yang benar saja."
"Tuh kan!" tukas Tiara lucu. "Nggak ada apa-apanya."
"Orang-orang bilang Esy itu cantik, padahal mah dia hobi dandan aja. Mana norak lagi. Masa kan ke lahan pakai topi pantai?"
Melayangkan pertanyaan itu, Monica terkekeh. Mau tak mau membuat Tiara dan Dira ikut-ikutan terkikik.
"Aku yakin deh tipe Farrel nggak kayak gitu. Jelas banget cantikan Dira ke mana-mana. Cantiknya alami, manis, dan nggak bosenin."
Dira tersipu mendengar pujian Monica. "Kamu ini bisa saja."
Tampak sedikit malu, Dira lalu melayangkan pandangannya ke seberang sana. Berjarak lumayan jauh, ada Esy yang duduk seorang diri. Ia terlihat fokus dengan bukunya.
"Tadi aku sempat pikir kalau Farrel tuh udah ada something gitu sama Esy. Soalnya kan aku sering lihat mereka bareng dari Perpus."
Tiara menggeleng. "Aku beberapa kali lihat Esy di Perpus, dia memang sendirian kok. Paling dia chat Farrel pas habis belajar. Minta jemput gitu. Biasa, tipikal anak manja. Nggak bisa capek, nggak bisa kepanasan, dan entah deh nggak bisa apa lagi."
"Nggak bisa Statistika juga," tukas Monica.
Dira kembali terkekeh, tapi tentu saja ia membenarkan perkataan Monica. Bahkan dengan senang hati menambahkan.
"Nggak bisa Rancob juga kayaknya. Sebenarnya kadang kasihan juga sih sama dia. Demi bisa terus bareng Farrel, pengorbanannya sampe segitu. Padahal selama ini nggak ditanggapi juga sama Farrel."
"Kamu benar," kata Monica. "Cuma ya wajar kalau Farrel nggak suka. Masa dia mau sama cewek kayak begitu."
"Bener kan?" tanya Dira tanpa menunggu jawaban Monica. "Udah norak, lebay, dan nggak bisa apa-apa. Heran juga kenapa masih ada yang mau temenan sama dia."
"Aku jadi ingat Fajar kemaren. Dia sampai belain Esy segitunya. Padahal yang kita bilangin bener kan? Esy masuk semua kelas Statistika dan Rancob itu pasti biar hati Pak Zidan luluh," imbuh Tiara.
Dira mengangguk. "Aku nggak yakin Esy tiba-tiba bisa Statistika. Ck. Yang bener saja. Makanya itu aku yakin. Jangan-jangan Fajar beneran suka sama Esy. Gila ya? Siapa saja coba cowok yang dia godain? Kayaknya cuma Farrel yang nggak tergoda sama dia."
"Makanya, Ra. Kamu buruan pepet terus Farrel. Biar Farrel nggak terjerumus juga," ujar Monica lagi.
Mendengar itu, Dira dan Tiara kompak tertawa. Agaknya mereka sangat senang dengan topik tersebut sampai-sampai Dira terlupa sejenak akan tugas yang diberi oleh Fatma.
Mereka masih berbincang-bincang. Membicarakan Esy dengan suka hati layaknya itu adalah hal yang paling membahagiakan di dunia.
Sementara Esy yang tidak tahu apa-apa tetap fokus dengan kalkulatornya. Ia kembali menyelesaikan tugas Rancangan Percobaan yang ketiga kalinya untuk soal yang sama.
Itu memang bukan tugas kelasnya, tapi Esy tetap mengerjakannya. Dengan teramat fokus dan penuh ketelitian.
Esy membuang napas lega saat tugas selesai. Merasa senang dan meraih ponsel. Mengecek pesan dari Farrel.
[ Farrel-ku ]
[ Kalau udah selesai, chat aku. ]
Esy mengulum senyum. Langsung membalas pesan tersebut.
[ Farrel-ku ]
[ Sudah, Rel. Aku otw keluar. ]
Selesai mengirimkan pesan balasan, Esy segera beres-beres. Ada buku yang harus ia taruh kembali di rak semula.
Sementara itu, jauh dari meja Esy, ada Farrel yang keluar dari rak buku. Ia membuang napas panjang. Berjalan seraya melihat sekilas pada meja Dira dan teman-temannya, lalu beralih pada Esy yang tampak riang gembira merapikan meja.
*
bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Farrel! "FIN"
Fiksi RemajaNomor Peserta: 095 Tema Yang Dipilih: Campus Universe Blurb: Untuk urusan keteguhan hati, Esy Handayani dan Farrel Anantara memang nggak ada duanya. Mau lihat buktinya? Bukan lagi setahun atau dua tahun, Esy sudah menyukai Farrel bahkan ketika merek...