Farrel menatap Esy. Tanpa bicara sepatah kata pun, ia hanya terdiam untuk beberapa saat lamanya.
"Kamu serius, Sy?" tanya Farrel pada akhirnya. "Kamu serius dengan apa yang kamu bilang?"
Esy mengangguk dan itu membuat genangan air matanya kembali jatuh. Ia mengusap lelehan bening di pipinya itu, menjawab.
"Aku serius."
"Tapi, ka—"
"Aku memang nangis, tapi kamu nggak usah pikirin aku," kata Esy cepat memotong perkataan Farrel. "Aku nggak apa-apa."
"Esy."
Suara Farrel terdengar berbeda. Dalam hati ia berharap, seandainya saja Esy bisa berbohong dengan lebih baik.
"Aku memang nangis, tapi aku nggak apa-apa," lanjut Esy seraya mengusap kembali air mata yang membasahi pipinya. "Kamu nggak usah pikirin aku. Kamu pikirin saja penelitian kamu. Terus kamu persiapkan semuanya. K-k-kamu ...."
Tunggu! Getir itu kian membesar dan membuat tenggorokan Esy tercekat. Ia nyaris tak bisa lanjut bicara. Bahkan menarik udara pun terasa amat susah.
"Kamu harus sukses, Rel. Kamu harus meraih cita-cita kamu. Seperti yang selalu kamu bilang ke aku kan?"
Pandangan Esy kian mengabur. Wajah Farrel tak lagi tampak. Namun, ia tau bahwa Farrel masih ada di sana dan Esy tersenyum di balik tangisannya.
"Iya kan?"
Samar memang, tapi Esy yakin tak akan salah melihat. Farrel mengangguk padanya.
Ada kelegaan yang muncul di dada Esy. Merambah dan membuat ringan perasaan. Namun, bukan berarti mampu mengusir sekelumit sedih yang dengan cepat mewabah dan meremas jantungnya.
Tatkala Esy masuk dan menutup pintu kos, pertahanannya yang tak seberapa benar-benar runtuh. Ia lunglai dan seketika terduduk di lantai. Wajahnya telah basah. Berurai air mata dan pilu akan bayangan masa depan.
Farrel akan pergi. Esy tak akan bisa melihat Farrel setiap hari seperti biasanya. Lantas apa yang bisa ia lakukan selain meratapi ketidakmampuan dirinya hingga tercipta jarak yang amat lebar?
Harusnya kamu belajar lebih giat, Sy. Harusnya kamu nggak sia-siakan waktu kamu.
Tudingan itu ada. Esy kerap menyalahkan diri sendiri. Namun, kala itu suara Zidan menggema di benaknya.
"Biarkan orang dengan proses dan jalan mereka. Biarkan mereka berproses dan melewati perjuangan mereka. Dan kamu? Kamu pun berproses dan berjuang di jalan kamu sendiri."
Sayangnya, satu cibiran pun langsung memenuhi benak Esy. Merendahkan dan meragukannya.
Memangnya apa yang bisa kamu lakukan tanpa ada Farrel di sisi kamu? Nggak ada, Sy.
Esy menutup wajah. Berusaha meredam isak, tapi gagal total. Alhasil, Farrel yang masih bertahan di depan pintu kamar Esy bisa dengan jelas mendengarnya.
Wajah Farrel tertunduk. Pada saat itu, menarik napas pun terasa menyakitkan untuknya. Bagai ada ratusan jarum yang menusuk paru-paru dan membuat ia bertanya.
Bukannya ini yang sering kamu harapkan? Nggak ada Esy yang akan mengikuti kamu kan?
Itulah yang kerap Farrel inginkan selama ini. Anehnya, mengapa ia tidak merasa senang? Bukankah kali ini tak ada sedikit pun kemungkinan Esy akan menyusulnya?
*
Tidak aneh rasanya bila mendapati Mia dan Bella yang tampak khawatir pagi itu. Mereka yang sedang disibukkan dengan penelitian menyempatkan diri ke Gedung Kuliah demi menemui Esy.
Berita dengan cepat berembus. Tak butuh waktu lama bagi orang-orang mengetahui kabar Farrel yang kemungkinan akan langsung melanjutkan kuliah setelah tamat nanti.
Tentu saja kabar itu membuat Mia dan Bella mencemaskan keadaan Esy. Mereka menunggu Esy dan wajah cewek itu menyiratkan semuanya dengan amat jelas.
"Tenang," kata Esy tersenyum. "Aku baik-baik saja kok. Kalian nggak perlu khawatir."
Bella meringis. "Kamu benar-benar nggak ada bakat jadi aktris, Sy."
"Dengan mata bengkak seperti itu," kata Mia ngeri. "Bagaimana mungkin kami percaya kalau kamu baik-baik saja?"
"Oh ya? Mata aku sebengkak itu ya?"
Terkekeh samar, Esy menyentuh matanya. Terasa kebas. Tak ada rasanya. Lebih dari cukup untuk menjadi tanda bahwa ia menangis tanpa henti selama berhari-hari.
Esy menarik napas sedalam mungkin. Berusaha untuk menenangkan diri, ia berkata.
"Aku memang sedih, tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa. Aku mau Farrel meraih cita-citanya dan jadi orang sukses."
Bella dan Mia saling pandang dengan ekspresi penuh simpatik. Dalam hati, keduanya sepakat. Esy benar-benar sudah cinta mati pada Farrel.
Ini jelas bukan hanya sekadar cinta monyet biasa. Setidaknya itulah yang Bella dan Mia yakini.
"Jadi aku harus dukung Farrel. Aku nggak boleh jadi penghalang cita-citanya," kata Esy berusaha tersenyum lebih lebar lagi.
Bella menepuk lembut pundak Esy. Ia berdecak samar. "Kamu benar. Kamu memang harus mendukung dia."
"Terus rencana kamu gimana, Sy?" tanya Mia.
Esy mengerjap. "Rencana aku?"
"Iya."
"Rencana aku ..."
Esy tidak merencanakan apa-apa. Ia pikir hidupnya akan berakhir tanpa ada Farrel. Namun, tidak. Setitik akal sehatnya yang masih tersisa mengingatkan dirinya untuk hal yang amat penting.
"... aku akan meraih cita-cita aku."
Bella dan Mia kembali saling pandang.
"Iya," angguk Esy. "Sama seperti Farrel, aku juga akan meraih cita-cita aku."
Esy pikir akan memalukan bila ia pasrah dan larut dalam kesedihan. Ia sudah mengatakan banyak hal pada Farrel. Mendorong cowok itu untuk mengejar cita-citanya dan apa yang ia lakukan sekarang?
Kamu nggak boleh sedih lagi. Kamu nggak boleh buat Farrel khawatir. Kamu harus kuat dan kamu jangan malu-maluin diri sendiri, Sy.
Selama ini Esy memang tidak mengenal kata malu. Namun, tentu saja itu berbeda bila berhubungan dengan Farrel.
Esy akan berusaha untuk melewati hati demi hari dengan melawan kesedihan. Itu memang bukan hal yang mudah, tapi ia bertekad untuk mulai membiasakan diri.
Dimulai dari hal yang paling sederhana, tapi telah menjadi rutinitas. Esy tidak menghubungi Farrel pagi itu. Ia keluar dari kos dan menatap matahari yang telah terik menyinari.
Esy melangkah. Terasa berat, memang. Namun, akan lebih berat lagi bila ia tidak memulainya dari sekarang.
Sepanjang jalan menuju kampus, benak Esy dipenuhi oleh kenangan di mana setiap hari ia selalu pergi bersama Farrel. Terlepas Farrel memiliki jadwal atau tidak, ia kerap mengantar Esy.
Hanya sesekali di mana Farrel tidak mengantarnya. Bila itu akhir pekan dan Esy berniat ke Perpustakaan.
Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri. Nggak apa-apa. Kamu pasti bisa kok.
Esy terus melangkah. Seraya menelan pahit yang terus menyumbat pangkal tenggorokannya, ia terus melangkah.
Gedung Perpustakaan berdiri kokoh di hadapan Esy. Satu-satunya tempat yang terpikir olehnya tatkala suasana kamar yang hening membuat perasaan sedih kian merajalela.
Esy butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Ia harus melakukan sesuatu untuk mulai menata hati. Ia harus memikirkan sesuatu untuk menyingkirkan semua kemungkinan menakutkan dari benaknya.
*
bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Farrel! "FIN"
Ficção AdolescenteNomor Peserta: 095 Tema Yang Dipilih: Campus Universe Blurb: Untuk urusan keteguhan hati, Esy Handayani dan Farrel Anantara memang nggak ada duanya. Mau lihat buktinya? Bukan lagi setahun atau dua tahun, Esy sudah menyukai Farrel bahkan ketika merek...