(8) 1. Tidak Ada Yang Lebih Menakutkan Ketimbang Tidak Bersama 3

523 69 15
                                    

"Farrel!"

Ketika seruan itu menyapa indra pendengarannya, langkah kaki Farrel seketika berhenti. Tidak ingin, tapi itu refleks terjadi. Dan sekarang rasanya percuma bila ia ingin menghindar. Si pemilik suara itu sudah menghampirinya.

"Pagi, Rel!"

Sama seperti pagi yang sudah-sudah, Esy dengan senyum cerah di wajah memberikan sapaan pada Farrel. Satu hal yang entah sejak kapan menjadi rutinitas cewek itu. Termasuk di dalamnya dengan meraih tangan Farrel dan menggenggamnya.

Farrel tersentak. Refleks menarik diri untuk menciptakan sedikit jarak. Sadar, ia bisa mendapati beberapa mata melihat mereka.

"Sy."

Esy melihat pada tangan Farrel yang lepas dari genggamannya. Jemarinya menangkap udara kosong dan mata polos itu lantas menatap Farrel.

"Kita di kampus," lirih Farrel dengan ekspresi tak nyaman. "Jangan kayak gini. Kita udah bukan anak-anak lagi, Sy."

Mengerjap beberapa kali, bibir Esy tampak mengerucut. Sedikit cemberut dan suara terdengar.

"Kan aku cuma mau pegang tangan kamu, Rel."

"Tapi, ini di kampus. Dilihatin orang-orang, Sy."

Manyun Esy menghilang. "Apa artinya aku masih boleh pegang tangan kamu kalau nggak di kampus?"

"Ya Tuhan."

Farrel kehabisan kata-kata. Pada akhirnya ia hanya membuang napas panjang dan memutuskan untuk melanjutkan langkah kakinya.

Itu adalah hari pertama mereka benar-benar memulai perkuliahan. Setelah kegiatan OSPEK yang lumayan melelahkan, sekarang waktunya mereka untuk mengarungi perjalanan baru sebagai mahasiswa.

Farrel tidak berharap muluk. Ketika ia bangun pagi dan bersiap ke kampus, ia berdoa agar kehidupan barunya di kampus bisa berjalan dengan aman dan tenteram. Tidak ingin mencolok dan penuh dengan ketenangan adalah hidup yang sempurna untuknya.

Namun, dengan Esy di dekatnya mungkin Farrel harus pasrah pada takdir. Lantaran ia tau bahwa kehadiran Esy dan ketenangan adalah dua hal yang tidak mungkin bersatu.

Farrel mengacak rambutnya hitamnya sekilas. Helaian lebat dalam gaya messy itu terlihat makin berantakan ketika dirinya berdecak. Seakan butuh menyalurkan kekesalan, Farrel seolah tak peduli dengan penampilannya. Padahal ia berencana untuk menemui dosen pembimbing akademiknya sebelum kelas pertama dimulai.

"Farrel!"

Suara Esy terdengar lagi. Berikut dengan derap langkahnya yang menyusul Farrel. Tak butuh waktu lama bagi Esy untuk menyusul cowok itu.

"Kamu mau ke mana?" tanya Esy seraya melihat pada ruangan yang baru saja mereka lewati. "Bukannya kita kuliah di ruangan itu ya?"

"Aku mau ketemu sama dosen PA dulu. Udah janji abis OSPEK kemaren."

Esy manggut-manggut. "Terus aku?"

"Kamu?"

"Aku kapan ketemua dosen PA? Ehm ... bisa minta tukar dosen PA nggak, Rel?"

"Tukar?"

"Iya," angguk Esy. "Soalnya dosen PA kita kan beda."

Mungkin itu adalah satu-satunya hal yang bisa Farrel syukuri. Sudah cukup ia satu kampus, satu fakultas, satu prodi, dan satu kelas dengan Esy. Berkat pemetaan kelas berdasarkan sistem ganjil-genap pada nomor induk mahasiswa (NIM), ia harus menabahkan hati untuk bertemu Esy dalam ruangan yang sama. Setidaknya selama empat tahun ke depan.

"Nggak bisa tukar dosen PA, Sy. Satu dosen PA seumur hidup sampe tamat."

Esy manyun. Penekanan yang Farrel berikan membuat ia mengangguk lemah.

"Iya sih," ujar Esy dengan suara lirih. "Kemaren Mas Bara juga udah sempat ngomong soal itu sama aku."

Farrel melirik sekilas. Tepat ketika mereka berbelok dan menuju pada satu pintu yang tersedia di sisi gedung kuliah. Itu adalah jalan pintas untuk menuju ke gedung jurusan. Tempat di mana Farrel akan menemui sang dosen pembimbing akademik di ruangannya.

"Mas Bara nelepon kamu?"

Esy mengangguk. "Mas nanyain kabar aku gimana. Ck. Mas kayaknya nggak percaya banget kalau aku bisa hidup merantau dengan sejahtera."

Farrel pikir kata merantau yang Esy ucapkan terasa sedikit berlebihan. Bukan bermaksud meremehkan. Tapi, terlepas dari fakta bahwa Bengkulu dan Jakarta dipisahkan Selat Sunda, Esy dan dirinya bukanlah tipe mahasiswa yang akan merana karena pisah dari orang tua.

Setidaknya orang tua mereka turut mempersiapkan semua keperluan mereka tanpa ada yang terlupa. Dari kosan yang aman dan nyaman, katering yang melayani makan selama sebulan, dan tentunya penatu yang siap sedia mengurusi pakaian.

Dengan semua fasilitas itu, Farrel yakin sebenarnya mereka tidak perlu menggunakan kata merantau. Dan kalaupun ada yang perlu dikwatirkan, itu pastilah menyangkut kesehatan Esy.

Langkah Farrel kembali berhenti. Tepat setelah mereka keluar dari gedung kuliah dan pepohonan tinggi nan besar menyambut keduanya.

Ada jalan setapak di sana. Yang memang diperuntukkan sebagai penghubung antara dua gedung. Dengan beberapa tanaman bunga yang menghiasinya, Esy nyaris tidak menyadari bahwa Farrel menghentikan langkahnya. Tatapannya tersita oleh keindahan warna-warni itu.

"Farrel," kesiap Esy kaget. "Kenapa berenti?"

Farrel tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Alih-alih ia menatap Esy untuk beberapa saat.

Hari pertama kuliah, Esy mengenakan kemeja lengan panjang polos bewarna putih. Sekilas itu adalah pakaian yang tepat seandainya saja Esy tidak memadukannya dengan rok flare dengan motif bunga-bunga. Dalam warna pastel, rok sebetis itu memberikan tampilan feminin yang sepertinya tidak tepat pada tempatnya.

"Sy."

Esy mengangkat wajahnya. Tinggi Farrel yang menyentuh angka 175 sentimeter membuat ia harus berjuang untuk bisa menatapnya.

"Ya?"

Dengan posisi seperti itu, Farrel bisa melihat dengan jelas. Bukan hanya pakaian dan sepatu berpita cewek itu yang jadi masalah. Bahkan rambut keriting Esy yang bewarna hitam pun membuat gatal matanya.

Potongan rambut feminin itu Esy biarkan terurai. Dengan satu bando bewarna merah muda di atas kepalanya, Farrel hanya bisa bertanya-tanya di benaknya.

Sebenarnya Esy tau nggak sih dia masuk fakultas apa?

Memang bukan berarti mahasiswa Fakultas Pertanian tidak bisa tampil modis. Bahkan ketika Farrel baru datang tadi ia sudah melihat ada seorang seniornya yang keren dengan jaket kulit hitam dan rambut pirang.

Namun, Esy?

"Kamu nggak ngerasa penampilan kamu ini berlebihan, Sy?"

"Penampilan aku?"

Esy tidak mengira kalau Farrel akan membahas soal penampilannya. Ia menunduk. Melihat dirinya sendiri dari atas hingga bawah.

"Memangnya penampilan aku kenapa?" tanya Esy polos. "Nggak cantik?"

Farrel berdecak. "Bukannya nggak cantik. Tapi---"

"Aku cantik?"

Esy memotong perkataan Farrel dengan cepat. Sepasang mata itu seketika berbinar-binar.

"Bukan itu yang penting sekarang," ujar Farrel seraya mendelik. "Sebenarnya kamu tau nggak sekarang kamu kuliah di mana?"

Lirihan itu mengalun dengan penuh irama. Keluar dari bibir Esy dan ia meringis. Mengangguk, sepertinya sekarang ia paham maksud Farrel.

"Ini belum telat, Sy."

Angin bertiup. Membuat rambut Esy beterbangan ketika ia bertanya. "Maksudnya?"

Farrel menarik napas sekilas. Terlepas dari harapannya yang memang ingin terhindar dari Esy, rasa kasihannya memang nyata.

"Pertanian itu berat," ujar Farrel. "Kamu nggak bakal kuat."

Dahi Esy yang mulus mengerut. Bibirnya mengerucut dan matanya menyipit melihat pada Farrel.

"Kamu Dilan atau Farrel sih?"

*

bersambung ....

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang