(12) 1. Tidak Ada Yang Lebih Menakutkan Ketimbang Tidak Bersama 7

414 65 8
                                    

"Farrel."

Farrel mengangkat wajahnya. Ketika namanya diserukan, ia melihat ke sumber suara. Karena jelas. Bukanlah Esy yang memanggilnya.

"Ya, Bu?"

Adalah Wiranti Hastuti yang memanggil Farrel. Dosen dari Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra yang menjadi dosen untuk mata kuliah bahasa Indonesia.

"Ini Esy udah dua kali nggak masuk."

Wiranti melihat sejenak pada layar laptopnya. Demi memastikan bahwa ia tidak keliru melihat absensi Esy.

Esy sakit. Ia tidak masuk dua kali kelas bahasa Indonesia dalam seminggu itu.

"Dia masih sakit?"

Farrel mengawali pertanyaan itu dengan satu anggukan. "Iya, Bu. Dia masih sakit."

"Sudah dibawa berobat?" tanya Wiranti lagi. "Sebentar lagi udah mau UTS."

"Sudah, Bu. Sebenarnya keadaan Esy sudah mendingan. Tapi, memang belum bisa kuliah."

"Baguslah kalau begitu. Semoga saja dia cepat sehat," ujar Wiranti seraya bangkit dari duduknya. "Dan untuk kalian semua. Jaga kesehatan dan jangan begadang. Sebentar lagi sudah mau UTS."

Pesan itu membuat Farrel merenung. Jangan begadang jelas bukanlah hal yang bisa dipesankan untuk Esy. Karena sejak menyandang status sebagai mahasiswa baru, praktis tiada hari tanpa begadang untuknya. Dan itu bukan tanpa alasan.

Di semester satu yang mana setiap mahasiswa baru mendapatkan total 21 SKS dalam delapan mata kuliah, tentunya tidak sedikit yang merasa kewalahan. Terlebih lagi karena ada empat mata kuliah yang dibebani tiga SKS. Yang artinya mata kuliah tersebut bisa memiliki dua kali pertemuan dalam setiap minggunya atau justru memiliki kelas praktikum.

Setidaknya adalah mata kuliah bahasa Indonesia dan matematika yang memiliki beban tiga SKS dan dua kali pertemuan. Maka bisa dibayangkan betapa Esy sering mengeluh ketika harus bertemu Zidan selama dua kali dalam seminggu. Belum lagi dengan tugas yang selalu dosen pria itu berikan di tiap pertemuannya. Alhasil Esy semakin uring-uringan.

Sementara itu ada mata kuliah fisika dan biologi yang menuntut mahasiswa untuk mengikuti praktikum. Mengerikannya adalah aturan di mana praktikum tidak boleh gagal. Kegagalan praktikum menyebabkan hasil valid untuk mata kuliah yang bersangkutan. Yaitu, tidak lulus.

Tentunya praktikum tidak terlalu memberatkan andaikan tidak ada laporan yang harus dikerjakan. Tapi, sayangnya begitulah sistem pembelajarannya.

Farrel pun tidak merasa heran bila akhirnya Esy tumbang. Cewek itu kewalahan. Harus membagi tenaganya untuk belajar dan berpikir. Akhirnya setelah nyaris tiga bulan berlalu, ia pun jatuh sakit.

"Kalau begitu, kelas saya tutup."

Farrel tersadar dari lamunan singkatnya. Kelas telah berakhir. Dan setelah Wiranti keluar dari kelas, ia segera meraih ponselnya.

[ Esy ]

[ Gimana keadaan kamu? ]

[ Udah makan belum? ]

Farrel menunggu sejenak. Tapi, pesan yang ia kirim tidak dibaca. Hingga ia memutuskan untuk bangkit dari duduknya.

"Rel."

Dira menghampiri Farrel. Bersama dengan temannya yang lain. Ada Fajar, Monica, dan Tiara.

"Jadi kita mau ngerjain tugas kelompok hari?" tanya Dira. "Mumpung masih ada empat jam lagi sebelum kelas pengantar ilmu pertanian."

Farrel baru ingat. Hari itu ia memang sudah sepakat dengan teman-temannya untuk mengerjakan tugas kelompok. Dosen fisika yang bernama Hidayat Tambunan itu memberikan tugas untuk membuat kliping peralatan laboratorium berikut dengan fungsinya. Dengan satu poin penting. Yaitu, ditulis tangan.

Itu tentu saja taktik jitu yang selalu dilakukan oleh dosen. Untuk meminimalisir tugas yang sama. Setidaknya mahasiswa tidak akan asal menyalin materi yang tersebar di internet.

Walau tidak bisa dipungkiri mayoritas mahasiswa pasti mengambil sumber di internet, tapi ada usaha mereka untuk menulis. Dan untuk dosen, mereka akan mengatakan bahwa nilai yang diberikan sebagai upah menulis.

"Lagian jam segini biasanya perpus juga belum rame banget," tambah Monica.

Farrel menarik napas. Sekilas ia melihat pada jam tangannya. Kala itu sudah menginjak pukul sepuluh.

"Gimana kalau kalian duluan ke perpus?" tanya Farrel seraya melihat pada temannya bergantian. "Nanti aku nyusul."

"Nyusul? Memangnya kamu mau ke mana?" balas Tiara bertanya.

Farrel tidak menjawab. Alih-alih ia justru mengatakan hal lain.

"Sebagian materi udah aku cari. Ntar aku kirim ke grup. Maaf, tapi aku beneran harus pergi bentar."

Tuntas mengatakan itu, Farrel langsung beranjak. Mengabaikan teman-temannya yang menyadari bahwa materi yang Farrel maksud sudah masuk ke grup percakapan mereka.

"Ya ... seenggaknya ntar Farrel nyusul. Lagian dia udah nyari materi juga," kata Fajar.

Tiara mengangguk. "Kalau gitu kita ke perpus sekarang?"

Monica dan Fajar mengiyakan pertanyaan Tiara. Hanya Dira yang tampaknya teralihkan dengan kepergian Farrel. Membuat Monica bertanya padanya.

"Kenapa?"

Dira melirik Monica sekilas. Dan suara Dira terdengar lirih ketika mereka meninggalkan tempat itu.

"Kayaknya dia mau lihatin Esy deh."

Monica mendeham. Angguk-angguk kepala. "Kayaknya sih. Ehm ... apa mereka pacaran?"

"Katanya sih nggak," jawab Tiara. "Tapi, mereka kelihatan dekat banget nggak sih? Sumpah. Aku sama tetangga aku aja nggak pernah sedekat itu."

Fajar tergelak. "Kamu nggak cakep soalnya."

"Ck. Tapi, aku kan lumayan buat jadi teman ke kondangan."

Gurauan itu membuat tawa mereka meledak. Walau pada kenyataannya tidak cukup menimpali komentar Dira di detik selanjutnya.

"Farrel pernah bilang kalau mereka nggak pacaran sih. Dan yang aku tau katanya Esy udah pernah ditolak sama dia."

Tawa seketika berhenti. Semua mata tertuju pada Dira.

"Masa?"

Keraguan Monica mendapat satu anggukan Dira.

"Cuma Esy yang nggak berenti buat dekatin Farrel," lanjut Dira menjelaskan. "Aku dengar sendiri kok pas Esy ngomong gitu sama Kak Abid dan yang lainnya. Pas masih OSPEK."

Monica dan Tiara terkesiap. Ekspresi mereka tampak kaget dengan hal itu.

"Ckckckck. Malu-maluin nggak sih? Masa udah ditolak masih ngejar-ngejar gitu?" tanya Tiara.

"Bener bener," jawab Monica sependapat. "Lagipula kalian ingat nggak? Pas OSPEK kan Esy terang-terangan ngomong kalau mau masuk pertanian itu gara-gara Farrel?"

"Ya ampun. Bener-bener nggak punya malu. Kalau aku sih beneran nggak bakal ngejar cowok kalau udah ditolak. Di mana coba harga diri kita sebagai cewek?"

Monica kembali sepakat. "Dan yang pastinya ... kalau aku cowok, aku juga nggak bakal mau sama cewek kayak gitu. Ehm ... gimana ya ngomongnya? Tapi, kayak nggak ada harga diri nggak sih?"

Dira yang mendengar percakapan itu hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Ia melihat bergantian pada Monica dan Tiara.

"Sudah sudah. Kok kita malah gosipin Esy sih? Kan kita mau ke perpus. Lagian nggak bagus loh gosipin orang."

Monica dan Tiara tertawa.

"Ah, bener."

"Duh! Gara-gara bergosip."

Dira tersenyum. Lantas mereka pun menuju ke kendaraan masing-masing. Sementara Fajar hanya geleng-geleng kepala. Dan ia bertanya pada dirinya sendiri.

"Cewek kalau ngumpul apa emang bahasannya cewek lain ya?"

*

bersambung ....

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang