(43) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 12

391 63 22
                                    

"Farrel."

Siapa pun yang mendengar, pasti akan merasa iba dengan nada lirih itu. Terlebih lagi Farrel yang tak hanya mendengar. Alih-alih melihat pula Esy yang duduk lemas. Persis seperti tanaman layu yang mengalami kekeringan.

"Kenapa aku masih dapat D?" tanya Esy dengan sorot kosong di kedua mata. "Kenapa bisa UAS aku anjlok banget?"

Farrel membuang napas panjang. Ia melihat lembar jawaban UAS Esy. Berkat ketidakpercayaan Esy akan nilai akhir Statistikanya, ia nekat menemui Zidan. Untunglah dosen berwajah dingin itu sedikit memandang Esy sebagai anak bimbingannya. Maka tak sulit bagi Esy untuk mendapatkan lembar jawabannya.

Esy berharap ada kekeliruan di sana. Tapi, bagaimana bisa seorang dosen Statistika melakukan kekeliruan? Oh sepertinya semua praktisi ilmu di dunia bisa yakin kalau orang yang bergelut di statistika dituntut untuk selalu teliti dan penuh hati-hati.

Nilai Esy benar. Zidan memeriksanya tanpa ada keliru. Dan hasil akhir itu memang sudah sepantasnya.

"Sudahlah, Sy. Kamu istirahat," ujar Farrel seraya menaruh lembar jawaban itu atas meja. "Nggak usah mikir soal Statistika dulu."

Esy mengambil batal sofa dan meremasnya. Wajah cantik itu tampak geram ketika berkata.

"Tapi, itu artinya aku nggak bisa sekelas dengan kamu buat Rancangan Percobaan besok, Rel."

Farrel tidak bisa mengomentari hal tersebut. Ia diam saja dengan pandangan yang masih tertuju pada nilai di lembar jawaban Esy. Entah sadar atau tidak, kala itu Farrel bertanya.

"Jadi ... kamu ngulang Statistika ini memang cuma buat bisa sekelas sama aku?"

Dahi Esy mengerut. "Tentu saja," tandasnya. "Kalau bukan untuk bisa sekelas sama kamu, terus buat apa?"

Mata Farrel memejam dengan dramatis. Ia bangkit dari duduknya dan berkata dengan acuh tak acuh.

"Aku nggak heran kalau Statistika kamu harus ngulang sampai ribuan kali."

Esy membolakan mata. Dirinya yang sedari tadi tak ubah bagai bunga layu seketika bangkit berdiri. Tepat ketika Farrel ingin beranjak pergi dari kos Esy.

"Maksud kamu apa, Rel?" tanya Esy bingung. Pun nggak terima. "A-aku kayak yang nggak mungkin bisa lulus Statistika gitu?"

Untuk yang kedua kalinya, Farrel memejamkan mata. Ia menarik napas dalam-dalam dan memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Alih-alih justru berpamitan.

"Aku pulang dulu."

Esy melongo. Tangannya terangkat. Berniat untuk kembali bertanya, tapi Farrel sudah keburu pergi. Meninggalkannya seorang diri dengan cemberut yang langsung tercetak di wajah.

"Dasar, Farrel," gerutu Esy. "Aku kan gini memang demi dia."

*

Ada dua minggu waktu yang tersedia sebelum perkuliahan semester ganjil dimulai. Jeda yang digunakan mahasiswa untuk berkonsultasi pada dosen pembimbing akademik dan menyusun rencana studi selama satu semester ke depan.

Itu waktu yang lama. Waktu yang cukup untuk Dhian, Nadiem, dan Bara datang mengunjungi Esy. Melepas rindu dan juga melihat keadaannya.

Kehadiran keluarga memberikan alasan untuk Esy tersenyum. Tak perlu ditanya, ia pun sudah rindu setengah mati pada keluarganya.

"Mama."

Esy memeluk orang tua dan kakaknya bergantian. Rasa sedih dan putus asa yang belakangan ini menggelayuti hatinya seolah lenyap tak berbekas. Tergantikan oleh kebahagiaan ketika melihat kehadiran mereka.

"Ya ampun anak Mama," ujar Dhian seraya membingkai wajah Esy dengan kedua tangan. "Kamu kenapa kurus begini? Kamu diet?"

Esy menggeleng dengan wajah imut. "Nggak, Ma. Namanya juga lagi kuliah."

"Mas Bara juga kuliah. Tapi, berat badan dia malah naik terus."

Esy tergelak. Bara pun tidak tersinggung sama sekali. Alih-alih ia pun merasa senang karena ternyata Esy sudah baik-baik saja.

"Jadi selama Mas di sini, biar Mas ajarkan ke kamu gimana caranya bisa menaikkan berat badan walau kuliah pada," kata Bara bangga.

Esy justru menggeleng geli. "Kalau berat aku naik, terus baju-baju aku gimana?"

"Biar Papa yang belikan," imbuh Nadiem. "Atau sekarang saja kita beli?"

Bola mata Dhian membesar. Penuh antusias. "Benar, Pa. Kita pergi sekarang, Sy? Mama sudah lama nggak shopping sama anak kesayangan Mama."

Senyum Esy merekah dengan amat indah. Ia mengangguk. Tentu saja dengan senang hati menerima ajakan keluarganya. Setidaknya itu bisa sedikit menjadi pereda kesedihan Esy. Lantaran ia pun yakin, kedatangan keluarganya turut disebabkan oleh kegagalan kedua Statistikanya.

Terbukti. Karena selang beberapa hari kemudian, mereka membesarkan hati Esy. Tanpa terkecuali, satu persatu memberikan semangat baru untuk cewek itu.

"Gagal sekali dua kali itu wajar. Namanya saja kuliah. Justru itu yang buat kuliah itu punya sensasinya," kata Nadiem.

Mendengarkan nasihat ayahnya, Esy hanya mengangguk samar.

"Kamu tau kan apa kata orang-orang?" lanjut Nadiem tanpa menunggu jawaban putrinya. "Nggak semua orang bisa memasukkan bola ke keranjang basket. Ada yang bisa memasukkan bola ke gawang. Ada yang bisa memasukkan bola ke lubang. Jadi semua orang itu memang ada keahliannya masing-masing."

"Iya, Pa," kata Esy patuh tatkala Nadiem membelai kepalanya.

"Kamu mungkin nggak bisa ahli Statistika, tapi cukup sampai lulus saja. Lagipula apa sih yang nggak bisa dilakukan sama anak Papa yang cantik ini? Masuk SMP favorit, bisa. Masuk SMA favorit, bisa. Ah, cuma Statistika. Ntar pasti lulus juga."

Esy sedikit cemberut. "Tapi, aku udah dua kali gagal, Pa."

"Ada kesempatan yang ketiga."

Yang menukas adalah Bara. Ia muncul dari belakang seraya membawa sepiring melon yang sudah dikupas oleh Dhian. Sambil mencomot potongan melon satu persatu, ia turut bergabung dengan adik dan ayahnya.

"Inti kuliah itu nikmati dan jalani. Santai saja. Pokoknya orang tamat, kita juga tamat."

"Ya aku juga mau gitu, Mas. Tapi, gimana aku bisa tamat kalau Statistika aku gagal?" tanya Esy manyun.

Dhian datang dan duduk di sebelah Esy. Ia merengkuh pundak sang putri.

"Tinggal kamu coba lagi. Mama yakin kamu bisa."

Menarik napas dalam-dalam, Esy menyadari sesuatu. Hal yang sebenarnya lebih berat baginya ketimbang kembali mengambil mata kuliah Statistika untuk yang ketiga kalinya.

"Iya, Ma. Ntar aku ambil lagi di semester empat," ujar Esy lesu. "Cuma kan ...."

Tidak meneruskan perkataannya, Esy yakin keluarganya sudah tau. Bahwa ada sesuatu yang lebih menyedihkan untuk Esy ketika Statistikanya kembali gagal. Dan untuk itu, tidak ada yang punya cara untuk menenangkannya.

Aku nggak bisa sekelas Rancangan Percobaan sama Farrel.

Rasanya tidak sanggup. Esy tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi padanya selama satu semester ke depan. Lantaran ada 2 hari di mana ia akan mengalami lesu mendadak. Yaitu, saat kelas teori dan praktikum Rancangan Percobaan.

Esy mencoba menabahkan hati. Ia mencoba untuk menguatkan diri. Tapi, ia gagal. Ketika ia melewati ruang delapan dan ia melihat pemandangan itu, seketika saja ada denyutan tak enak di dadanya.

Rasanya sedih. Rasanya kecewa. Rasanya benar-benar menyesakkan.

Dira dan Farrel terlihat santai berdiskusi seraya tertawa beberapa kali sementara ada Esy yang mencoba untuk tidak menangis.

*

bersambung ....

Fyi aja. Ending cerita ini udah ada sih ya. Dan tadi aku bayangin endingnya. Terus aku nangis. Aku nggak bohong loh ya. Aku beneran nangis terus bilang: ini memang ending yang sempurna buat kalian T_T

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang