(69) 7. Biasakan Dan Akhirnya Menjadi Kebiasaan 6

423 73 18
                                    

Farrel menghentikan laju motornya di parkiran Gedung Kuliah. Tentu saja bukan karena ia ingin kuliah, alih-alih hanya mengantar Esy.

"Kamu selesai ntar jam berapa?" tanya Esy seraya memberikan helm pada Farrel.

Menerima helm tersebut, Farrel sedikit beringsut di atas motor. Sudah hapal akan kebiasaan Esy yang pasti akan becermin di spion demi merapikan rambut.

"Mungkin cuma bentar," jawab Farrel. "Hari ini aku cuma cuci botol sama sterilisasi alat-alat."

Esy mengangguk. "Ntar aku chat kalau udah keluar."

"Oke."

Esy menunggu Farrel pergi dulu dari parkiran sebelum turut beranjak dari sana. Ia menuju Gedung Kuliah dan bersiap untuk menghadiri kuliah Rancangan Percobaan yang ketiga kalinya dalam minggu itu.

Tersenyum, Esy memberikan lambaian sekilas pada beberapa orang temannya yang kebetulan juga kuliah. Beberapa dari mereka memang masih memiliki beban sks yang harus diambil.

Esy terus melangkah setelah menyapa seadanya. Menuju ke ruang sembilan dan tidak tahu sama sekali ketika ada beberapa mulut yang mulai membicarakannya.

"Aku nggak pernah ngira kalau Esy bakal gitu lagi."

"Gitu gimana? Ehm masuk semua kelas Rancob?"

"Iya loh. Maksudnya ... astaga. Kayak caper nggak sih?"

Beberapa mata sontak berpaling. Melihat pada Tiara dan Monica yang mengangkat topik tersebut.

Mereka sedang menunggu dosen Teknologi Benih datang. Memanfaatkan waktu dengan berbincang-bincang seperti biasa, agaknya pilihan mereka kali ini kurang tepat. Yaitu, dengan membicarakan teman mereka sendiri.

"Namanya juga mau belajar sih," kata Ica.

"Belajar sih belajar, tapi nggak gitu juga kali," bantah Monica.

Tiara mengangguk. "Kayaknya sih bukan niat belajar, tapi mau buat Pak Zidan kasihan," timpalnya. "Kalau menurut kamu ... gimana, Ra?"

Ada Dira pula di sana. Memang ia tidak ada kuliah, melainkan hanya berkumpul dengan teman-temannya saja.

"Ehm siapa yang tau ya? Walau Pak Zidan galak, tapi mungkin saja luluh."

Beberapa dari mereka terkesan kurang sependapat dengan perkataan Dira. Setidaknya ada Ica yang terlihat kembali menyela dengan kerutan di dahi.

"Pak Zidan? Bisa luluh?" tanya Ica ragu. "Kalau beneran bisa luluh, itu yang temen seangkatan Kak Sella pasti sudah lulus dari kapan hari."

Tampak sependapat dengan Ica, adalah Deni yang mengangguk.

"Benar sih. Kasihan kan sama kakak itu? Padahal dia pinter loh buat mata kuliah yang lain. Jadi aku rada ragu kalau Pak Zidan bisa luluh. Apalagi dengar-dengar katanya Pak Zidan dan keluarga kakak itu dekat loh."

Ica kaget. "Masa?"

"Sempat dengar," kata Deni. "Dan nggak ada tuh dia luluh atau iba buat lulusin Matematikanya."

"Ckckck. Kasihan banget. Pantas sih Pak Zidan dibilang dosen killer," decak Ica tak percaya.

Deni terkekeh melihat ekspresi Ica. "Apa? Kamu juga mau bilang wajar Pak Zidan diceraikan istrinya?"

"Wah! Kamu ini diam-diam bigos juga ya, Den?"

Tawa Deni pecah. "Aku juga cuma dengar sekilas gitu. Orang-orang bilang sejak itu Pak Zidan jadi killer."

"Makanya aku nggak percaya kalau Pak Zidan bisa luluh," kata Ica kembail seraya geleng-geleng kepala.

"Ya ... siapa yang tau kan?" tanya Dira tanpa menunggu jawaban Ica. "Apalagi Pak Zidan itu PA dia."

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang