(4) Di satu hari yang cerah. Di satu sekolah menengah atas.

659 80 21
                                    

"Farrel!"

Ketika satu seruan itu terdengar, bukan hanya sepasang mata yang berpaling dan menatap ke ambang pintu. Alih-alih ada sebelas pasang mata yang melihat ke sumber suara. Tapi, tidak termasuk dengan mata si pemilik nama.

Farrel membuang napas panjang. Tanpa perlu melihat ia jelas sudah tau siapa adanya yang menyerukan namanya sedemikian rupa.

"Ckckck. Permen karet Farrel muncul di waktu yang tepat."

"Untung rapat kita udah selesai."

Cengar-cengir, tanpa ada rasa berdosa sedikit pun, Esy masuk. Mengabaikan teman-teman mereka yang langsung bangkit dari kursi. Merapikan meja dalam hitungan detik yang singkat.

"Pak Ketos, kami duluan. Takut Si Permen Karet bete' kalau kami lama-lama di sini."

Ada tawa yang pecah. Itu jelas adalah Esy. Yang ajaibnya tidak merasa tersinggung sama sekali dengan perkataan tersebut.

"Makasih," kata Esy tanpa malu sedikit pun. "Kalian memang teman yang pengertian."

Mengabaikan teman-temannya yang keluar dari ruang rapat OSIS, Esy menarik kursi di dekat Farrel. Duduk di sana seraya melirik pada lembaran kertas yang menyita perhatian cowok itu.

Esy mencibir sekilas. Sedikit manyun ketika merasa dirinya tidak lebih penting dari pada proposal ulang tahun SMA mereka.

"Rel."

Memanggil Farrel, Esy membawa kedua tangannya untuk naik ke atas meja. Bertumpu pada siku, ia menopang wajah. Masih dengan tatapan yang terus tertuju pada Farrel.

"Farrel."

Dua kali menyebut nama Farrel, hanya satu deheman singkat yang Esy dapatkan. Tapi, tak apa. Respon ala kadarnya itu sudah cukup untuk menerbitkan senyum di wajah Esy.

"Kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini?"

Farrel mengangguk. Merapikan proposal tersebut dan memasukkannya ke dalam satu map kertas.

"Pulang ntar bakal telat lagi?"

Farrel mengangguk lagi. Bangkit dan menaruh map tersebut di satu rak yang tersedia di ruang tersebut. Lantas sesuatu melintas di benaknya.

"Kamu nggak usah nungguin aku, Sy. Kamu pulang duluan aja."

Tentu saja Esy langsung menggeleng.

"Nggak. Aku bakal nungguin kamu."

Farrel membuang napas panjang. Bergeming di tempatnya berdiri, cowok itu menatap Esy dengan sorot putus asa.

"Mau sampai kapan sih kamu kayak gini, Sy?"

Mata Esy mengerjap. Memasang mimik sok polos, ia menggeleng. Berpura-pura tidak mengerti maksud pertanyaan Farrel.

"Maksud kamu ... apa ya?"

Farrel tentu saja tau kalau Esy tengah berpura-pura. Tapi, kali ini Farrel pikir sudah waktunya untuk ia mengakhiri semuanya. Jujur saja. Ada masanya Farrel merasa lelah karena terus diikuti oleh Esy ke mana-mana.

Lihat kan yang tadi? Bahkan teman-teman mereka sudah menjuluki Esy sebagai permen karet-nya Farrel.

Itu mungkin terdengar seperti lelucon. Dan mungkin maksud teman-teman mereka memang begitu. Tapi, pada akhirnya Farrel pun sadar. Bahwa sepertinya perilaku Esy sudah keterlaluan.

Bagaimana bisa Esy terus mengikuti Farrel? Apa cewek itu tidak merasa risih atau malu ketika teman-teman memanggilnya permen karet Farrel? Terlepas dari itu julukan lelucon, bukankah itu sedikit memalukan?

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang