(39) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 8

392 62 17
                                    

"Farrel."

Senyum dan tatapan manis itu Esy tujukan untuk foto Farrel yang memenuhi layar ponselnya. Persis seperti taman indah, hati Esy dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran. Aneka rupa, aneka warna, dan aneka aroma.

Esy sedang bahagia. Tepatnya ia merasa seolah sedang melayang di awan. Lantaran hari itu adalah hari yang sempurna.

Nilai ujian Esy berhasil melewati batas minimal kelulusan. Farrel tidak percaya pada gosip yang beredar.

Maka nikmat mana lagi yang aku dustakan?

Esy terkikik seraya mendekap ponsel di dadanya. Berbunga-bunga, tapi tak urung juga akhirnya perasaan bahagia itu terjeda. Ketika ia teringat lagi akan perkataan Bella, sontak saja ia bangkit dari tidurnya.

Bibir Esy mengerucut. Wajahnya mengerut. Dan ia bergumam pada dirinya sendiri.

"Kira-kira siapa ya yang nyebarin gosip aku dan Radit? Perasaan dari awal aku udah nolak Radit, semua orang tau jawaban aku untuk dia. Terus kenapa mendadak ada yang ngomong kami udah jadian?"

*

"Mulai besok kalian jaga stand pendaftaran HIMA di samping rektorat. Ga ada jadwal giliran, tapi ya kalian sama-sama sadar diri aja. Oke?"

Pertanyaan dari mahasiswa tingkat tiga itu dijawab kompak oleh para panitia. Ia adalah Berry Darmawan. Ia sebagai ketua HIMA untuk prodi Agroekoteknologi beralih pada Farhan yang dipercaya sebagai ketua panitia OSPEK tahun itu.

"Kamu perhatikan benar-benar semua panitia, Han. Jangan sampai ada yang buat onar."

Farhan mengangguk. "Siap, Kak."

Pembukaan rapat panitia OSPEK prodi berakhir sekitar sepuluh menit kemudian. Masing-masing panitia langsung diarahkan untuk berdiskusi sesama tim dalam seksi masing-masing. Di antaranya adalah Farrel yang langsung bergabung dengan seksi acara.

Tak seorang diri. Bersama Farrel ada pula Dira dan Radit. Sementara untuk seniornya ada Abid dan juga Sella. Untuk ketua seksi acara sendiri dipegang oleh Abid.

"Oke oke. Hari ini kita rapatkan rangkaian acara. Biasanya sih kita pake template dari tahun lalu. Nggak banyak berubah," kata Abid. "Tapi, tetap harus ada sedikit yang berubah."

Sempat dipandang sebelah mata oleh mahasiswa baru, biasanya kebanyakan dari mereka memandang remeh acara OSPEK. Tak jarang yang menganggap OSPEK hanya kegiatan yang membuang waktu dan tidak bermanfaat sama sekali.

Namun, semua pandangan akan berubah ketika posisi di balik. Saat menjadi panitia, nyaris semua mahasiswa akan setuju bahwa mengatur dan menyiapkan OSPEK bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi tuntutan dari dosen dan senior yang pasti menginginkan acara berjalan lancar tanpa ada masalah.

"Jadi nanti Farrel dan Dira jangan lupa cek jadwal dosen. Temui dan bertanya dengan sopan mengenai jadwal beliau. Kapan bisa memberikan materi," kata Abid kemudian.

Farrel dan Dira mengangguk.

"Baik, Pak."

Abid beralih pada Radit. "Kamu karena jaringannya luas, temui para ketum semua organisasi di kampus. Tanya apa mereka bisa datang di jadwal OSPEK kita buat perkenalan ormawa."

Radit mesem-mesem. Tampak ia menggaruk tengkuknya sekilas.

"Temui ketum-ketum semua ormawa di kampus?" tanya Radit meneguk ludah. "Ini kayaknya aku jadi petugas sensus kampus deh, Kak."

Abid tergelak. "Sella bakal temeni kamu."

Kali ini Radit malah garuk-garuk kepala. Jelas karena kehadiran Sella pun tidak akan meringankan tugas yang ia dapatkan. Tetap saja ia harus keliling kampus.

"Tetap aja sih, Kak. Ujung-ujungnya tetap keliling ke mana-mana."

Gerutuan Radit membuat Sella memukul juniornya itu dengan buku. Sekilas dan tidak memberikan sakit sama sekali.

"Kamu harusnya bersyukur aku temenin. Emangnya kamu mau keliling kampus seorangan?" tanya Sella geli. "Dikira petugas sensus kagak, dicap anak ilang iya."

Abid tergelak melihat Radit yang semakin misuh-misuh. Ia lantas bangkit berdiri dan bertepuk tangan beberapa kali.

"Oke. Rapat kita hari ini selesai. Ntar aku infoin hal lainnya di grup."

Rapat panitia OSPEK hari itu akhirnya benar-benar berakhir. Farrel keluar dari Sekre seraya menarik napas panjang lantaran ia menyadari bahwa minggu-minggu ke depan pastilah ia akan semakin sibuk.

"Liburan jadi nggak berasa liburan ya?"

Satu pertanyaan membuat Farrel refleks menoleh. Ternyata ada Dira yang menghampirinya. Cewek itu tersenyum padanya.

"Bener kan?"

Farrel mengerjap sekali, lalu mengangguk. "Iya. Aku nggak ngira kalau jadi panitia OSPEK bakal repot begini."

"Sama," kata Dira. "Cuma aku masih mending sih. Kamu padahal lagi pulang. Pasti masih kangen rumah. Kalau aku kan walau kos juga, tapi tiap minggu aku bisa balik."

"Ehm ... ya begitulah."

"Btw kamu udah mau balik? Aku boleh bareng nggak?" tanya Dira kemudian.

Farrel melihat jam tangannya. "Sorry, Ra. Kayaknya aku nggak bisa bareng. Dari sini aku mau langsung ke kos Esy."

"Oh."

"Kalau gitu aku duluan," ujar Farrel seraya beranjak. "Dia udah nunggu dari tadi."

Dira tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan tangan. Melihat kepergian Farrel seraya membuang napas panjang. Dan di waktu yang tepat, Tiara keluar pula dari Sekre.

"Mana Farrel?" tanya Tiara. "Tadi aku lihat kamu bareng dia."

Dira menggeleng seraya tersenyum. "Dia udah balik. Katanya dia mau ke kos Esy."

Wajah Tiara tampak berubah tak enak. Ia melirih samar.

"Aku pikir kalian bakal balik bareng."

"Nggak. Dia mau ke kos Esy," ujar Dira. "Walau aku juga heran sih. Kok dia masih deket sama Esy ya sementara Esy dan Radit lagi bareng juga."

Bola mata Tiara membesar. Tampak setuju dengan perkataan Dira, ia mengangguk berulang kali.

"Bener bener. Padahal menurut aku Farrel pantas dapat cewek yang lebih dari Esy. Kayaknya Farrel itu pinter di pelajaran aja. Masa Esy masih diladenin."

Dira bersedekap seraya mengusap lengannya satu sama lain. Tampak matanya masih tertuju ke seberang sana. Pada titik di mana Farrel menghilang dari pandangannya.

"Kayaknya bukan Farrel ngeladenin Esy sih. Tapi, mungkin semacam kasihan gitu."

"Kasihan?" tanya Tiara dengan dahi mengerut. "Ah, gara-gara Esy udah ngekorin dia selama ini? Ehm ... maksud kamu dia ngerasa bersalah gitu?"

Dira berpaling dan kali ia melihat pada Tiara. "Apalagi Esy gagal Statistika. Kalau aku jadi Farrel, aku juga pasti ngerasa bersalah. Karena ada orang yang suka sama kita dan melakukan apa pun untuk terus dekati kita, tapi eh dia malah gagal gitu. Iya nggak?"

"Wah! Kamu bener!" kesiap Tiara.

Kalau Tiara pikirkan lagi, apa yang Dira katakan memang benar. Esy jelas masuk Pertanian karena Farrel. Sayangnya, semua tidak berjalan bagus. Esy mengalami kegagalan di mata kuliah Statistika. Mata kuliah yang menjadi penjamin seorang mahasiswa untuk bisa lulus. Dan tentunya itu akan membuat Farrel tertekan bila Esy tidak lulus-lulus.

"Jadi ya ... gimana ngomongnya ya?" ujar Dira kemudian. "Semacam Farrel harus bertanggungjawab untuk kesalahan yang nggak dilakukan."

Tiara manggut-manggut dengan ekspresi prihatin. Ia tak bisa berkata apa-apa dengan semua yang diucapkan oleh Dira. Terlebih lagi karena Dira menutupnya dengan satu pertanyaan.

"Kasihan Farrel kan?"

*

bersambung ....

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang