(59) 6. Tak Apa Tertatih, Asal Jangan Berhenti 3

387 76 18
                                    

Farrel mengedarkan pandangan. Merasa sedikit aneh ketika bisik dan tawa yang ada mendadak menghilang tatkala ia masuk ke Gedung Jurusan melalui pintu belakang. Namun, ia mengabaikannya. Alih-alih menuruti rasa penasarannya, ia terus saja menuju ke ruang administrasi laboratorium. Seperti niatnya semula.

Siang itu, seperti yang ia katakan pada Esy di sambungan telepon, Farrel pergi ke kampus. Ia sempat mengirim pesan pada Esy, tetapi tidak mendapatkan balasan.

Mungkin lagi nonton drama ya?

Begitulah yang sempat Farrel duga hingga ia pun memutuskan untuk ke kampus tanpa Esy.

Tiba di ruang administrasi laboratorium, Farrel berniat untuk langsung menemui Dotti Triastuti selaku laboran. Namun, pemandangan di dalam sana membuat Farrel mengerutkan dahi. Agaknya ia harus menunda sejenak niatnya. Dotti sedang berdebat dengan mahasiswa walau tidak dalam konteks yang menegangkan.

"K-kamu apa, Yan?" tanya laboran berambut ikat seleher itu. "Mau daftar praktikum Botani?"

Abid yang berdiri di sebelah Ryan, memejamkan mata. "Sumpah, Yan. Kamu yang ngulang, tapi kok aku yang malu ya?"

Sekarang Dotti beralih pada Abid. Tangannya terangkat dan menunjuk pada Ryan yang bersikeras ingin menulis namanya di jadwal praktikum Botani.

"Abid," panggil Dotti. "Ini serius? Ryan ngulang Botani?"

Abid meringis, tapi ia mengangguk. "Dia ngulang empat mata kuliah semester ini, Bu. Botani, Genetika, Biokimia Tanaman, dan Bioteknologi Pertanian."

"Hah? Memangnya dia ada gagal? Bukannya IPK dia yang paling tinggi seangkatan?" tanya Dotti bingung.

"Memang, Bu," tanya Abid seraya menahan Ryan sekuat mungkin. "Biokimia dan Biotek dia aja dapat A, tapi entah kenapa dia malah ngulang."

Ryan meronta. "Bid, lepasin. Aku mau tulis nama dulu. Ntar jadwal praktikum udah keisi."

Namun, Abid mengabaikan permintaan Ryan. Ia terus bicara pada Dotti dengan wajah tak berdaya.

"Kalau saya kan wajar ngulang Botani, Bu. Saya dapat C," ringis Abid terus menahan Ryan. "Tapi, bagaimana bisa asdos Botani malah ngulang Botani?"

"Ckckck."

Dotti berdecak sambil geleng-geleng kepala. Ia melihat Ryan dengan tatapan iba.

"Apa otak dia udah mulai terganggu?" tanya Dotti pada Abid. "Orang kalau kelewat pintar memang kadang jadi rada-rada juga."

"Saya khawatirnya juga begitu, Bu. Kasihan teman saya, Bu."

Rontaan Ryan berhenti. Ia membuang napas kesal melihat pada Abid. Lalu beralih pada Dotti.

"Saya bukan rada-rada, Bu. Tapi, masalahnya semester ini saya tinggal nyusun skripsi. Sementara uang semesteran tetap saya bayar full. Artinya saya rugi dong? Jadi lebih baik saya ngulang aja. Buat pendalaman," ujar Ryan panjang lebar.

Abid masih menahan Ryan sekalipun cowok itu sudah tidak berontak lagi. "Kamu mau pendalaman sampe sedalam apa, Yan? Kamu itu nggak usah pendalaman lagi. Kamu beneran udah tenggelam."

"Ya ampun, Bid. Ilmu itu nggak terbatas. Selagi masih ada kesempatan, kita harus belajar," bantah Ryan bersikeras.

Dotti kembali berdecak. Lalu tangannya naik satu. Mengusir mereka.

"Sudah sudah," ujar Dotti geleng-geleng. "Kamu bawa teman kamu ini keluar. Saya nggak mau labor saya ribut gini."

Bola mata Ryan membesar. Tangan Abid semakin kuat mencengkeram dirinya.

"Sekalian kamu bawa dia ke poli jiwa. Saya khawatir dia udah terobsesi belajar," ujar Dotti ngeri.

Abid mengangguk. "Tapi, paling nanti dimandiin air kembang sama Eyangnya Ryan. Kami permisi, Bu."

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang