(77) 8. Air Mata dan Tawa, Itulah Yang Membuat Hidup Bewarna 2

526 79 26
                                    

Farrel mengerjap. Sedetik yang lalu ia terdiam, kemudian barulah ia kembali bersuara.

"A-apa, Pak?"

Nathan memperbaiki letak kacamatanya. Ia membuang napas dan mengangguk sekali, tersenyum.

"S2," jawab Nathan. "Menurut saya, kamu punya modal untuk melangkah lebih jauh ke depan. Jadi saya dan Bu Fatma sudah berdiskusi. Kebetulan tahun ini kami ada penelitian bersama dengan pihak Seoul University."

Lengkapnya adalah Seoul National University. Berada di Korea Selatan, kampus ini tercatat sebagai universitas pertanian terbaik Asia versi QS WUR tahun 2022 di posisi keempat.

"Tentu saja ini bukan berarti kamu bisa langsung masuk dan jadi mahasiswa. Ada tes," lanjut Nathan seraya mengangguk kembali. "Tentu saja ada tes. Ada seleksi. Cuma ini bisa jadi keuntungan untuk kamu."

"Keuntungan untuk saya, Pak?" tanya Farrel.

"Kamu bisa mengajukan beasiswa LPDP. Untuk LoA dari pihak sana bisa saya dan Bu Fatma bantu. Mengingat kamu alumni, jadi kamu bisa dibilang jadi perwakilan kami untuk melakukan penelitian di sana."

Farrel memang sering mendengar desas-desus seperti itu. Beberapa senior terdahulu ada yang melanjutkan pendidikan berbekal proyek penelitian dosen. Itulah mengapa tidak sedikit mahasiswa yang berupaya agar bisa mengerjakan proyek penelitian dosen sebagai bahan skripsi.

"Kalau kamu mau, kamu bisa mempersiapkan diri dari sekarang. Ehm ... dan mungkin kamu nanti nggak sendiri."

Sedikit kerutan muncul di dahi Farrel. "Dengan siapa, Pak?"

"Ryan," jawab Nathan walau wajahnya tampak tak yakin. "Bu Fatma menawarkan dia walau sebenarnya saya sedikit ragu kalau dia ingin pergi. Apalagi karena pihak Gardu Radja sudah menghubunginya untuk bekerja di sana."

Farrel tidak akan heran bila sang senior yang baru saja diwisuda sekitar lima bulan lalu itu ditawari pula. Namun, bukan perkara Ryan yang sekarang ia pikirkan. Alih-alih dirinya sendiri.

"Jadi bagaimana?" tanya Nathan menyentak lamunan singkat Farrel. "Kamu berminat?"

Farrel tidak bisa langsung menjawab. Di satu sisi, ia tentu saja senang dengan tawaran Nathan. Memangnya sebanyak apa mahasiswa yang akan mendapatkan penawaran seperti itu? Tentu saja tidak banyak.

Namun, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Farrel. Sesuatu yang membuatnya tidak bisa langsung memutuskan.

"Mungkin kamu perlu berpikir dan berdiskusi dengan orang tua, tapi menurut saya ini adalah kesempatan emas untuk kamu. Dengan kemampuan kamu yang begini, rasanya sayang sekali kalau perjalanan kamu sebatas ini."

Kursi yang diduduki Nathan sedikit berputar ketika si empunya berusaha membuka laci meja. Ia menarik sebuah amplop cokelat berukuran lumayan besar.

"Saya bukan mengatakan bahwa bekerja setelah tamat adalah hal buruk, tapi kamu punya kesempatan untuk melakukan yang lebih," ujar Nathan seraya menyodorkan amplop tersebut pada Farrel. "Di dalam ada brosur, buku panduan, peta, dan yang lainnya. Coba kamu baca dan pikirkan baik-baik."

Farrel menyambut amplop tersebut dengan tubuh yang seolah mati rasa. Ia melihatnya dan tertegun. Sungguh, ia tidak pernah mengira bahwa sesi bimbingan pagi itu akan berakhir dengan satu penawaran yang amat menggiurkan bagi setiap mahasiswa.

"Terima kasih banyak, Pak," ucap Farrel dengan suara lirih. "Saya akan mempertimbangkannya dengan baik."

Nathan mengangguk. "Walau demikian jangan sampai kamu lalaikan penelitian kamu."

"Baik, Pak. Saya permisi."

Setelah bersalaman dengan Nathan, Farrel pun bangkit. Beranjak keluar dengan perasaan yang bercampur aduk.

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang