(85) Di satu hari yang cerah. Di satu koridor yang dipenuhi remaja dewasa.

1.4K 114 77
                                    

Halo! Siap dengan bab terakhir kisah Esy-Farrel?

Btw. Aku ucapin makasih banyak untuk kalian yang baca cerita ini sampai tamat. Dan ngomong-ngomong, kalian tau nggak apa kira-kira cita-cita Esy?

*

Farrel membuang napas panjang. Menghampiri Esy dengan wajah kasihan.

"Kamu mau nangis sampai kapan?"

Esy menutup wajah. "A-aku dapat tinta merah. A-artinya aku bodoh."

Kembali, Farrel membuang napas panjang. Ia melihat buku latihan yang terbuka di meja Esy.

"Bukan bodoh, tapi kamu nggak belajar."

Tangan Esy turun. Menampilkan wajah basah penuh air mata. Ia menunjuk buku latihan TK.

"Lihat. Bu Guru buat garis baru di gambar aku. Pakai tinta merah. Artinya tugas aku salah."

Arini mengoreksi pekerjaan Esy. Garis yang Esy buat di atas titik-titik itu tidak lurus sehingga tidak membentuk persegi panjang seperti yang dimaksud.

"Sudah, jangan nangis lagi," kata Farrel. Ia mengambil pensil dan memberikannya pada Esy. "Kamu buat lagi saja garisnya, biar kamu nggak bodoh lagi."

Mata Esy yang berlinang tampak mengerjap. "A-aku kerjakan lagi?"

"Iya. Aku di rumah juga buat garis terus-terusan. Biar nggak dapat tinta merah."

Esy mengambil pensil dengan ragu. Tangisannya sudah berhenti, tapi ia tak yakin ingin membuat garis baru lagi.

"K-kalau garisnya tetap mencong gimana?"

"Ehm kamu buat lagi."

"Aku buat lagi?"

"Iya, sampai garisnya lurus."

"Sampai garisnya lurus?"

"Iya, jangan berhenti sampai garisnya lurus."

"Jangan berhenti?"

"Iya, nanti kamu pasti bisa."

Itu adalah sepenggal masa lalu yang tak akan pernah terlupakan. Sepenggal masa lalu yang terus terpateri di ingatan dan kerap memberikan kesan yang sama. Bahwa mungkin semua hanya soal seberapa keras seseorang dalam mengusahakan keinginannya.

"Itu loh itu."

"Masa? Serius?"

"Prodi apa?"

"Agro, Agrotek."

"Hah? Serius? Tau begitu aku masuk Agrotek coba."

"Ck. Jangan terkecoh. Beliau nggak secantik parasnya."

"Yang bener?"

Sekelumit senyum timbul di wajah cantik itu. Dalam pulasan dandanan yang tak berlebihan, ia tampak santai saja ketika bisik-bisik terdengar di telinga.

Tak perlu ditanya, ia jelas tahu untuk siapa bisik-bisik itu ditujukan. Tentu saja untuk dirinya yang pagi itu tampak anggun dengan kombinasi kemeja batik dan rok polos selutut.

Sepasang sepatu berhak lima sentimeter membawa langkah anggunnya di sepanjang koridor. Melewati jarak demi jarak dan mengabaikan mata para remaja dewasa yang tampak tertarik padanya.

Sesekali, ia berpaling. Sekilas tersenyum dan membalas sapaan yang kebetulan ia dapatkan.

"Selamat pagi, Bu Esy."

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang