(56) 5. Seandainya Bisa Melihat Masa Depan 2

409 68 21
                                    

"Farrel."

Langkah Farrel terhenti. Ia berpaling dan melihat pada Esy. Tampak cewek itu menunjuk pada satu ruangan.

"Kelas aku di sana," ujar Esy tersenyum kecil. "Sampai ntar."

Farrel mengerjap. Ia mengangguk sekali sebagai balasan untuk lambaian yang Esy berikan.

Untuk sejenak, Farrel masih berdiri di tempatnya. Melihat pada Esy yang terus berjalan menuju ruang lima belas. Tepatnya berada di lantai dua.

Saat Esy tidak lagi tertangkap oleh retina matanya, maka di saat itulah Farrel beranjak. Menuju pada ruang dua, tempat di mana kuliah Penyajian Ilmiah akan dimulai.

Berkat kegagalannya di mata kuliah Statistika, lagi-lagi Esy harus menerima takdir. Ia harus merelakan dua kelas di mana ia tidak bisa bersama dengan Farrel. Yaitu, untuk mata kuliah Penyajian Ilmiah dan Perdagangan Internasional

Khusus untuk Perdagangan Internasional, itu adalah mata kuliah pilihan. Berkat dirinya yang tidak bisa mengambil Penyajian Ilmiah maka tiga SKS yang tersisa ia gunakan untuk mengambil mata kuliah lintas program studi. Sesuai dengan saran Zidan saat bimbingan KRS dua minggu yang lalu.

Esy membuang napas panjang tatkala ia masuk ke kelas yang didominasi oleh mahasiswa dari program studi Agribisnis itu. Sedikit gugup lantaran nyaris tidak ada yang ia kenal.

"Esy?"

Esy mengerjap. Ia berpaling dan mendapati seorang mahasiswi cantik menyapa dirinya.

"Esy kan?"

Esy mengangguk. "Iya, aku Esy. Kamu?" tanyanya spontan. Namun, sesuatu melintas di benaknya. "Ah! Kamu gebetan Radit kan?"

Itu adalah Laura. Yang wajahnya sontak memerah saat Esy melayangkan pertanyaan tersebut.

"Iya!" ucap Esy seraya menepuk tangannya sekali. "Kamu cewek cantik yang sering bareng Radit."

Laura mendeham. Tampak sedikit salah tingkah. Apalagi ketika Esy kembali bicara.

"Kalian kan sering bareng. Sampe-sampe buat orang iri. Yang satu cakep, yang satu cantik. Bener kan? Ehm ... nama kamu siapa?"

Sekilas, Laura mengusap tengkuknya. Mau tak mau menyambut tangan Esy ketika cewek itu menawarkan perkenalan.

"Laura Prederika," jawab Laura. "Panggil aja Laura."

Esy tersenyum. "Aku Esy Handayani."

"Iya. Aku tau. Kayaknya semua orang tau kamu."

Senyum Esy berubah jadi senyum malu-malu. Ia mengangguk mengerti.

"Pasti gara-gara OSPEK dulu. Ehm waktu aku jawab pertanyaan Pak Dekan kan?" tanya Esy retoris.

Walau demikian tak urung juga Laura mengangguk. "Yang bareng kamu tadi ... itu yang namanya Farrel?"

"Iya," angguk Esy. "Dia cowok itu."

Mata Laura menyipit. "Kamu deket sama dia? Atau ... udah jadian?"

"Ehm."

Mendeham, Esy tampak mengerucutkan bibir. Bola matanya pun berputar sekilas. Seperti tidak yakin untuk menjawab pertanyaan itu lantaran mereka yang baru berkenalan.

Ah! Lagian semua orang juga sudah tau. Hidup aku tuh nggak ada rahasia lagi.

Akhirnya, Esy menjawab pertanyaan itu.

"Kami memang dekat. Dari dulu selalu dekat, tapi kami belum jadian."

Laura mengerutkan dahi. "Belum?"

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang