(73) 7. Biasakan Dan Akhirnya Menjadi Kebiasaan 10

409 69 19
                                    

Farrel tersenyum kecil ketika menyadari bahwa Esy masih terus memikirkan perkataannya di warung bakso tadi. Bahkan hingga mereka tiba di depan gerbang kos Esy, kerutan di dahi cewek itu tidak menghilang.

"Maksud kamu apa sih, Rel?" tanya Esy seraya menyerahkan helm. "Memangnya aku selama ini kenapa?"

Farrel meraih helm. Sempat berniat untuk tidak menjawab, nyatanya ia merasa kasihan juga. Bagaimana bila malam itu Esy tidak tidur karena terus memikirkannya?

"Selama ini kamu terlalu sibuk dengan urusan yang nggak penting. Sampai-sampai kamu mengesampingkan kuliah kamu."

Bukannya menghilang, kerutan di dahi Esy semakin bertambah. "Masa?" tanyanya tak percaya. "Perasaan nggak tuh. Aku belajar terus dan mengutamakan kuliah."

Farrel berdecak. "Aku yang lihat kamu selama ini, Sy. Jadi aku yang tau gimana kamu dulu, awal masuk kuliah, dan sekarang."

"Oh."

Tetap tak mengerti maksud Farrel, tapi Esy sontak melirih dengan penuh irama. Kerutan di dahinya sukses hilang dan tergantikan lengkungan manis di bibir.

"Kamu diam-diam perhatiin aku ya?"

Wajah Farrel berubah kaku seketika. Apalagi karena Esy pun beranjak, mendekatinya dengan mata yang berbinar-binar.

"Iya? Kamu perhatiin aku ya? Ehm kenapa?" tanya Esy, lalu ia syok. "K-kamu udah mulai suka aku ya?"

Farrel menutup kaca helm. Tangan kanan bergerak memacu gas, kemudian berkata.

"Aku balik."

Esy mengerjap. Hanya dua detik dari pertanyaan itu meluncur dari bibirnya, eh Farrel sudah menghilang.

"Ck. Dia selalu aja gitu. Nggak ada kasihan-kasihannya sama aku. Tega amat."

Menggerutu sih, tapi nyatanya ada sekelumit senyum yang tak mampu Esy singkirkan. Ia merasa ringan dan seolah tanpa beban.

Esy masuk ke kos. Memastikan pintu terkunci dengan benar sebelum buru-buru mencari tempat favoritnya. Yaitu, kasur.

Satu-satunya hal yang paling mengerti Esy. Setelah menghabiskan waktu berjam-jam dengan angka dan kalkulator, punggungnya menuntut pengistirahatan.

Esy memejamkan mata. Tidak memandang langit-langit seperti kebiasaannya, cewek itu memijat dahi. Ia geleng-geleng.

"Bahkan untuk mikir maksud perkataan Farrel pun aku udah nggak ada tenaga lagi. Semua energi yang aku miliki terhisap habis tanpa sisa hanya untuk Rancob seorang."

Tidak bermaksud berlebihan, nyatanya Esy justru heran mengapa mengerjakan Rancangan Percobaan sama melelahkan seperti mencangkul. Bahkan mungkin lebih parah. Tidak hanya pinggangnya yang terasa kaku, mata dan otaknya pun terasa amat lelah.

"Nggak boleh capek, Sy. Lebih baik nangis-nangis sekarang timbang nangis kemudian."

Esy meringis. Meringkuk seraya memeluk boneka beruang.

"Lebih enak lagi kalau nggak pake acara nangis sih."

Namun, Esy sadar diri. Ucapan Sella masih melekat di benaknya. Ia tidak terlahir dengan IQ tinggi. Ia bukan golongan mahasiswa yang dikarunia otak encer. Jadi ia tidak punya pilihan lain, kecuali belajar mati-matian.

Benar-benar menerapkan motto itu, Esy memanfaatkan tiap waktu yang ia miliki untuk belajar. Hingga rasa-rasanya jemari Esy sudah hapal dengan tombol kalkulator. Pun begitu juga dengan urutan rumus yang harus ia kerjakan.

Alhasil tak heran bila belakangan ini melihat Esy mengerjakan tugas Rancangan Percobaan seraya bersenandung. Kepala sedikit bergoyang. Juga dengan tersenyum.

Sama seperti siang itu. Esy tengah mengerjakan tugas Rancangan Percobaan seperti biasanya. Dengan ditemani oleh sepotong kue cokelat dan air putih. Ia sangat serius hingga akhirnya dering ponsel membuyarkan konsentrasinya.

Esy menarik napas dalam-dalam. Tatkala mengetahui bahwa sang ibu yang menghubungi, ia pun menyisihkan sejenak tugasnya.

"Halo, Ma," sapa Esy langsung.

Terdengar samar suara napas Dhian di seberang sana.

"Halo, Sy. Kamu lagi apa? Mama nggak ganggu kan?"

"Nggak," jawab Esy. "Aku baru saja selesai kerjain tugas kuliah, Ma."

"Oh, tapi beneran sudah selesai kan? Mama nggak ganggu kamu belajar kan?"

Esy tersenyum geli. "Nggak, Ma. Beneran sudah selesai. Ehm Mama kenapa telepon?"

"Mama telepon malah ditanyain. Memangnya Mama nggak boleh telepon anak Mama sendiri?" tanya Dhian.

Senyum geli Esy berubah menjadi kikik lucu. Ia memutuskan untuk bangkit dari meja belajar dan mendaratkan tubuh di tempat tidur.

"Ya boleh dong. Cuma kan aku bingung saja. Udah berapa lama sih Mama nggak telepon aku? Ehm kayaknya Mama nggak kangen sama aku," ujar Esy.

Sekarang kalau Esy pikir-pikir lagi, memang demikian adanya. Dhian sudah lama tidak menghubunginya. Bukan yang sampai berbulan-bulan, tapi seminggu dua minggu adalah waktu yang tergolong lama untuk mereka berdua.

"Mama kangen sama kamu. Mana mungkin nggak kangen. Cuma ...."

Esy menunggu kelanjutan perkataan sang ibu. "Cuma?"

Terdengar Dhian menghela napas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya.

"Cuma Mama nggak mau ganggu kamu belajar. Kemaren-kemaren Mama ada telepon kamu dan nggak diangkat kan?"

Esy meringis mendengar hal itu. Ia mengangguk dengan rasa bersalah walau tahu sang ibu tak akan bisa melihatnya.

"Maaf," pinta Esy. "Waktu itu aku di Perpus, Ma. Lagi belajar dan aku nggak tau kalau Mama telepon."

"Iya iya. Mama tau kok. Lagipula waktu itu Mama langsung hubungi Farrel. Untung saja dia angkat dan dia bilang kalau kalian memang lagi belajar di Perpus."

Tunggu. Sepertinya ada pemilihan kata yang keliru di sana.

"K-kalian?" tanya Esy tak yakin. "M-maksudnya ... aku dan?"

"Dan siapa lagi kalau bukan dan Farrel? Ck. Kamu itu," jawab Dhian seraya berdecak samar.

Jawaban Dhian membuat Esy refleks bangkit duduk. Ia semakin bingung.

"Tunggu deh, Ma. Ehm kapan ya aku dan Farrel di Perpus bareng?"

"Ya ampun, Sy. Kok malah kamu nanya sama Mama? Kan kamu dan Farrel yang ke Perpus. Bukannya Mama."

Perkataan Dhian terdengar benar, tapi sepertinya tidak sepenuhnya benar. Alhasil Esy pun menggaruk kepala.

"Sebentar deh, Ma," ujar Esy sedetik kemudian. "Mama telepon aku, terus aku nggak angkat. Jadi Mama telepon Farrel?"

"Iya."

"Terus sama Farrel bilang kami lagi di Perpus?"

Perlu sekali bagi Esy untuk menekankan kata kami di pertanyaannya. Seolah Dhian tidak paham saja akan kata ganti orang.

"Iya, Sayang. Farrel bilang kalau kalian sedang ada di Perpus. Kamu dan Farrel ada di Perpus."

Penekanan balik yang dilakukan Dhian membuat Esy melongo. Ia kembali mencoba berpikir, tapi sepertinya tak ada yang salah dengan ingatannya.

"Ehm ... itu kapan ya Ma?"

Dhian mendeham sejenak di sambungan telepon. "Mama nggak ingat juga sih. Pokoknya itu hari Sabtu. Ah, bener! Hari Sabtu, soalnya kan Mama mau ajak kamu video call."

Jawaban Dhian membuat Esy semakin mengerutkan dahi. Bahkan hingga telepon berakhir, kerutan itu tak memudar.

Hari Sabtu? Aku dan Farrel bareng di Perpus? Ehm kapan? Di mana? Kok aku nggak tau? Apa aku lupa ingatan gara-gara keseringan mengingat rumus Rancob?

Esy tak yakin. Entah ingatannya atau perkataan Dhian yang harus ia ragukan. Keduanya terdengar sama tak masuk akalnya.

"Perasaan aku dan Farrel nggak pernah bareng di Perpus deh," lirih Esy pelan. "Apalagi di hari Sabtu."

*

bersambung ....

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang