(81) 8. Air Mata dan Tawa, Itulah Yang Membuat Hidup Bewarna 6

497 80 34
                                    

Farrel keluar dari ruang Tata Usaha Jurusan. Dengan satu map bewarna hijau di tangan, ia berjalan keluar dari lorong. Berbelok dan tatapannya membentur seorang cewek yang tengah menunggunya.

Itu jelas ada Esy. Yang ketika mendengar samar suara langkah maka ia pun langsung bangkit. Ia tak bisa menunggu dan langsung menghampiri Farrel.

"Gimana?" tanya Esy seraya melihat pada map hijau tersebut. "Sudah selesai daftarnya?"

Seulas senyum tipis melengkung di bibir Farrel. Ia mengangguk.

"Sudah," jawab Farrel. "Kalau nggak ada halangan, aku bakal sidang minggu depan."

Mata Esy terpejam dramatis dengan tangan yang langsung mendekap dada. Ia membuang napas dan kelegaan terasa menyeruak tanpa bisa ia tahan.

"Ya Tuhan. Syukurlah kalau begitu."

Esy membuka mata. Menatap Farrel dan ia berkata dengan sungguh-sungguh.

"Aku bakal doakan semoga semuanya lancar. Kamu harus belajar yang rajin. Persiapkan semuanya, Rel. Kamu harus lulus."

Sekali, Farrel mengangguk. "Iya. Aku bakal persiapkan semuanya."

Farrel membuktikan perkataannya. Sepulang dari kampus, ia langsung bersiap. Tidak membuang-buang waktu, ia mengumpulkan semua materi dan juga segala sesuatu yang ia butuhkan.

Esy akan membantu Farrel, tentu saja. Cewek itu akan mengurus perbanyakan draf skripsi dan undangan yang akan diberikan pada setiap dosen.

Waktu berlalu. Seminggu bukanlah waktu yang lama bila berkaitan dengan sidang skripsi. Pagi itu, akhirnya hari yang dinantikan tiba.

Farrel berdiri di depan cermin. Mengenakan pakaian rapi kombinasi antara kemeja putih dan celana hitam, yang dilengkapi oleh jas dan dasi bewarna senada dengan celana.

Menarik napas, Farrel ternyata merasa gugup. Alhasil ia tak membuang waktu. Ia segera meraih ponsel dan menghubungi seseorang.

"Halo."

Suara lembut itu membuat Farrel membuang napas panjang. "Ma."

Adalah Linda yang Farrel hubungi. Ibu yang tentu saja mengerti alasan mengapa sang putra menghubunginya di jam tujuh pagi.

"Sebentar lagi kamu sidang kan?" tanya Linda di seberang sana.

"Iya dan anehnya aku merasa gugup."

Lindah terkekeh samar. "Biasanya kamu nggak pernah gugup."

Mungkin karena sidang skripsi berbeda dari semua ujian yang pernah Farrel lalui. Bisa dikatakan ini adalah ujian lisan. Dan bila menilik dari pengalaman senior terdahulu, tidak ada yang bisa menerka apa saja yang akan ditanyakan oleh dosen.

"Tenang, Rel. Kamu sudah belajar dan berusaha selama ini. Mudah-mudahan kamu bisa lancar melewatinya."

"Doakan aku, Ma. Semoga aku bisa menjawab semua pertanyaan dosen."

"Tentu saja. Kamu berjuang di sana dan Mama berdoa di sini."

Sekarang Farrel bisa merasa sedikit tenang. Setelah telepon berakhir, ia pun langsung meraih kunci motor. Ia menjemput Esy dan barulah menuju Gedung Jurusan.

Tiba di sana, ternyata sudah ada beberapa orang teman seangkatan mereka yang datang. Lantaran Farrel adalah mahasiswa pertama di angkatan mereka yang sidang maka mereka pun menjadi antusias. Tak terkecuali, ada Dira dan teman-temannya di sana.

"Farrel!"

Dira menghampiri Farrel. Membuat Esy yang berada di sebelah Farrel seketika mengerjap.

"Gimana persiapan kamu? Semua udah beres?"

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang