(25) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 10

391 59 9
                                    

"Farrel."

Farrel mengangkat wajah. Melihat ke depan di mana dosen yang bernama Rahemi Astutiningtyas memanggil namanya. Dan langsung memberikannya pertanyaan.

"Sebutkan satu bentuk modifikasi yang terjadi pada tumbuhan teki berumbi."

Cepat dan tepat, Farrel menjawab. "Umbi, Bu."

Emi mengangguk. "Oke. Selanjutnya," ujarnya seraya melihat pada Esy yang duduk tepat di sebelah Farrel. "Esy."

Esy sontak menahan napas. Tubuhnya menegang seketika.

"Mengapa umbi bisa dikatakan sebagai bentuk modifikasi? Apa yang mendasarinya?"

Gila saja. Esy meneguk ludah dengan gugup.

Kenapa Ibu ngasih Farrel satu pertanyaan sementara sama aku ngasih dua pertanyaan? Mana beda jauh lagi pertanyaannya. 'Sebutkan' sama 'mengapa' dan 'apa'?

Esy berusaha bernapas. Sambil berupaya memaksa otaknya berpikir. Tapi, sulit sekali. Berkat dirinya yang begadang semalam, alhasil siang itu ia benar-benar tidak bisa konsentrasi.

"Esy?"

Agaknya Emi tidak bisa bersabar. Terbukti dengan hitung mundur yang ia lakukan sedetik kemudian.

"Tiga. Dua. Satu."

Esy tidak bisa menjawab di tenggat waktu yang diberikan. Dan ia hanya bisa pasrah ketika dilihatnya Emi menulis sesuatu di absensi manual yang dimiliki oleh setiap dosen. Tak perlu diragukan lagi. Absensi itu pasti sudah berubah menjadi daftar nilai sekarang.

"Dira."

Emi berpindah pada Dira yang kebetulan duduk di sebelah Esy. Dan ia memberikan pertanyaan yang tak mampu dijawab Esy tadi.

"Hal itu dikarenakan umbi adalah bentuk perubahan dari akar. Perubahan tersebut terjadi karena akar menjadi tempat penyimpanan cadangan makanan."

Emi mengangguk. Lantas berpindah pada mahasiswa selanjutnya.

"Dengan demikian umbi tersebut disebut?"

Kali ini Monica yang menjawab. "Umbi akar, Bu."

"Sebagai umbi akar, apakah bisa digunakan untuk memperbanyak tanaman, Tegar? Dan mengapa?"

Emi berpindah pada Tegar. Dan cowok itu menjawab dengan yakin.

"Tidak bisa, Bu. Karena umbi akar tidak memiliki titik tumbuh."

Begitulah. Setengah jam waktu yang tersisa di kelas Botani dimanfaatkan oleh Emi untuk melakukan evaluasi. Tidak seperti kebanyakan dosen yang memilih menggunakan sistem kuis –ujian singkat di kertas, Emi cenderung menyukai tanya jawab lisan. Dan itu menjadi salah satu hal yang membuat Esy tidak menyukai Botani.

"Aku pikir cuma Statistika aja yang mengerikan. Ternyata ada praktikum Dasar-Dasar Agronomi," lirih Esy seraya membuang napas panjang. "Dan praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah yang disuruh melihat lapisan tanah pun juga mengerikan. Sekarang?"

Farrel menoleh. Masih ada jejak merah yang tertinggal di pipi Esy. Tak perlu ditanya, ia pasti merasa malu karena tidak bisa menjawab pertanyaan Emi tadi.

"Botani pun lebih mengerikan lagi."

Pundak Esy jatuh. Kalau ia ingat hasil ujian tengah semester Botani-nya, ia bergidik ngeri. Sungguh. Menurut Esy, mata kuliah Botani dan Emi adalah kombinasi yang benar-benar mengerikan.

Di awal, Esy benar-benar tidak mengira kalau Botani akan menjadi momok. Terkesan gampang, tapi tidak sama sekali. Terlebih lagi ketika dosen pengampunya adalah Emi. Seorang dosen wanita yang terkenal amat disiplin, menjunjung tinggi kesempurnaan, dan begitu tegas. Hingga banyak orang yang mengaitkan hal tersebut sebagai penyebab ia belum juga menikah di usia yang sudah matang.

Farrel! "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang