Perkara Es Teh Manis

29 8 1
                                    

Arsen tampak gelisah. Berulangkali ia menghela napas untuk meredakan kegugupannya. 

Akan tetapi hal itu dirasa percuma, lantas untuk melampiaskannya Arsen mengetuk-ngetuk lantai dengan sepatu yang ia pakai. Menggigit bibir dan terus menatap tangga menanti kedatangan Nara. 

"Nara.. apa kabar? Ah nggak-nggak." Arsen berdehem, lalu kembali berlatih berbicara sendirian dengan angin. "Nara, gimana hari ini? Nggak juga deh." 

Arsen menggeleng frustasi. Ia mencak-mencak sendiri membuat orang-orang yang lewat terheran-heran.

Lalu sebuah suara membuatnya mematung dengan posisi kaki kanan di atas. Perlahan menoleh dan mendapati Nara yang mengerutkan keningnya.

"Ngapain? Kok kakinya gitu?" Tanya Nara.

Arsen menyadari, lantas pura-pura menarik lepaskan kakinya seperti gerakan olahraga. 

"A-aku–gue lagi olahraga. Iya olahraga." Kekehnya di akhir kalimat. 

Nara makin merasa aneh kepada Arsen, namun ia tak ambil pusing. 

"Mau ke mana?" Tanya Arsen ketika Nara melanjutkan langkahnya.

"Ke ruang teater lah, ke mana lagi?"

"Eh iya-iya. Gimana udah hafal naskahnya?" 

Arsen menyamai langkah Nara, mereka akhirnya berjalan berdampingan menuju ruang seni teater.

"Alhamdulillah, lumayan."

"Semangat ya! Seminggu lagi."

Nara langsung menghentikan langkah kakinya. Matanya melebar dengan mulut menganga. Kontras kini ia sedang kaget bukan main. "Se-seminggu?"

Arsen mengangguk, "Iya seminggu lagi, lo lupa?"

"Gue kira masih lama!"

"Ya ampun dasar pikun." Arsen tersenyum, gemas karena Nara. "Bawa santai aja, jangan terlalu terpaku ke naskah. Belajar improvisasi."

"Tapi ini kali pertama gue tampil di depan banyak orang dan–" 

Nara tak mampu melanjutkan kalimatnya. Padahal Nara merasa baru kemarin pertemuan awal teater. Dan sekarang sudah seminggu lagi menuju pementasan?

Arsen tiba-tiba menjitak pelan kepala Nara. Membuat Nara langsung mendesis kesakitan dan mencibir pemuda itu. 

Arsen malah tergelak melihat ekspresi itu. Menggemaskan. "Awas aja ya kalau penampilan lo jelek nanti, gue gak mau tau, traktir gue makan sepuasnya di kantin!"

Nara melotot, "Heh kok gitu? Enak aja! Emang siapa lo?!"

"Gue senior lo yang selalu ngawasin lo di teater!"

"Lah urusan lo sama gue apa? Kan elo divisi musik, kenapa harus repot-repot merhatiin aktor lagi main?" Desak Nara tak mau kalah. Tak ayal, tangannya tertanam di pinggangnya dengan pandangan tajam menusuk ke Arsen.

Arsen mendelik, sebenarnya ia terpojok dengan balasan Nara. Arsen keceplosan bilang itu. 

"G-gue, ya.. gue.. " mampus, Sen, malah gagap! "Wajar lah kalau gue merhatiin aktor main, terutama lo. Di sini lo yang megang peran utama karakter antagonis, emang gak boleh apa gue sebagai senior di teater mau pementasan yang dibawakan angkatan kalian tampilkan luar biasa?"

Kini Nara yang merasa disudutkan. Perkataan Arsen ada benarnya. Kenapa ia mesti protes? Seharusnya bagus juga jika Arsen sampai memperhatikan.

Itu artinya usahanya untuk latihan tak sia-sia dan pasti akan menghasilkan pembawaan karakter atau akting yang bagus setelah mendapat saran dari para Kating.

BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang