"Yuk."
Arya menggenggam tangan Nara lalu menuntun gadis itu untuk masuk ke gerbang yang terbuka sedikit. Namun pemilik tangan itu hanya diam sehingga membuat Arya menoleh kepadanya.
"Kenapa, Nara?"
"Aku gak yakin, Ya."
"Aku yakin, Nar."
"Aku enggak."
Arya menghela napas, ia tersernyum dan memegang kedua bahu Nara. "Kita hadapin bareng-bareng, ya? Jangan takut. Kamu harus yakin."
Nara menutup matanya yang sudah memanas. Rasa sakit yang ia simpan selama satu tahun ini kembali menyeruak, menyenggol hatinya mengingatkan kembali momen menyakitkan di hidupnya.
Meski memejamkan mata, tetesan air mata Nara kontan mengalir. Selaras dengan hatinya yang rapuh.
"Maafin aku, Nar." Arya mengatakan itu setelah tubuh ringkih Nara ia peluk dengan erat. Gadis itu tersedu di dada Arya. "Maafin aku udah ikut campur urusan kamu. Kalau kamu gak mau, kita pulang ya?"
"Abang kangen kita yang dulu, Nar. Selama ini kita kayak main petak umpet sama papa dan mama. Abang pengen banget walaupun mereka udah cerai, tapi kita masih bisa bareng-bareng dan menjalin komunikasi yang baik kayak dulu."
Mengingat perkataan Arman tadi pagi, Nara tergerak untuk mewujudkan harapan itu. Lantas dengan penuh keberanian, ia menghalau keraguan di dalam hati dan pikirannya demi kedamaian keluarganya.
"Aku siap." Ujarnya seraya mengusap air matanya.
"Nar, jangan karena aku—"
"Ini buat kakak aku dan buat ketenangan orangtua aku." Potong Nara. "Ayok kita masuk."
Sebelum masuk melewati pintu pagar, Nara sekali lagi menghela napasnya. Dalam hati ia berdoa yang terbaik kepada-Nya. Semoga ini jalan yang terbaik yang ia tempuh.
"Assalamualaikum.." ucap Arya.
"Waalaikumsa—" sahutannya terhenti ketika wanita paruh baya itu mendapati Nara dan lelaki asing di depan pintu utama. "Nara?"
Nara mengepalkan kedua tangannya di setiap sisi. Menahan emosi yang terus bergejolak dalam diri. Melihat reaksi Nara, Arya memegang tangan Nara seakan mencoba menenangkan Nara.
"Siapa, ma?" pria paruh baya yang tak lain adalah ayah Nara pun ikut mematung di samping istrinya.
Mata yang memiliki manik hitam itu menatap Nara. Tubuh yang tak segagah dulu berdiri terpaku ketika anak gadisnya datang kembali setelah sekian lama tak berjumpa.
Dalam hati, ia mengumpati diri. Merasa gagal menjadi seorang ayah yang membiarkan anaknya tinggal seorang diri di rumahnya dulu.
Namun dirinya tak bisa melakukan apa pun ketika dua anaknya sama sekali tidak bisa menerima kehadiran istri barunya ini dan menerima kenyataan bahwa kehidupan mereka tidak seperti dahulu.
Dengan santai Arya nyelonong masuk dan menyalami keduanya. Pemuda itu menjadi pemecah utama di antara keheningan yang menyelimuti suasana.
"Saya Arya, temen Nara."
Sementara Nara sendiri masih terpaku di tempat.
"Lho muka kamu kenapa?" Tanya Ayah Nara kepada Arya.
Arya dengan percaya diri menjawab, "Biasa om, anak muda. Harus bisa beladiri, biar bisa jagain negara." Candanya, tapi tidak membuat orangtua Nara tertawa ataupun sekedar menarik tiap sudut bibirnya.
Arya menelan ludah, gemetar. Namun senyumnya tetap terulas seakan dia baik-baik saja.
"Berapa kali lagi mas, kamu bohongin aku?!" bentak mama dengan suara gemuruh di luar sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]
Fiksi RemajaBifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah r...