Senandung Nara 1

430 96 99
                                    

Hidup mandiri yang Nara rasakan kini bukanlah pilihannya. Nara tak pernah membayangkan bahwa pada akhirnya ia hidup di posisi semenyakitkan ini. Jauh dari kedua orangtua terkadang membuatnya setiap pagi harus terbangun dalam keadaan telah menangis. 

Bukan merantau, melainkan karena perceraian yang terjadi satu tahun silam. Dimana saat itu umur Nara masih 17 tahun. Memasak, mencuci, makan, menonton, dan aktivitas lainnya ia lakukan sendiri. Tak ada lagi tawa, canda atau sekedar memanggil namanya. Rumah yang dahulu begitu hangat dan ramai, kini menjadi sunyi dan temaram.

Senandung Nara, sosok yang dahulu ceria sekarang berubah menjadi pendiam dan dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senandung Nara, sosok yang dahulu ceria sekarang berubah menjadi pendiam dan dingin. Setiap siang setelah pulang sekolah, Nara selalu menyempatkan waktu untuk pergi mengajar les privat. 

Awalnya ia tidak pernah berencana untuk mengajar les, namun karena salah satu tetangganya meminta Nara untuk mengajari anaknya, akhirnya Nara bersedia. Dan dari sanalah tawaran makin banyak sampai Nara lulus sekolah SMA.

"Kenapa lo gak milih buat satu rumah sama bokap lo? Malah tinggal di sini sama abang lo yang bahkan cuman pulang seminggu sekali karena dinas jauh." Ciko—saudaranya kini tengah menemani kesendirian Nara di malam itu.

"Gue belum siap nerima keluarga barunya, Ko. Dan gue masih belum siap menerima kehidupan gue yang sekarang." Ucap Nara pelan. Kentara dengan matanya yang berkaca-kaca.

"Tapi daripada lo di sini hidup susah, Nar. Apalagi sekarang lo udah kuliah kan, jarak ke kampus dari sini jauh banget. Gak mungkin juga kalau lo pulang pergi setiap hari? Lagian gue gak bisa selamanya nemenin lo. Lo tahu sendiri, gue bakal pindah ke Jogja bulan depan."

"Ciko, udah 1 tahun ini gue sama bokap bahkan nyokap gak pernah akur sama sekali! Mereka cuman ngasih uang tanpa nanya gimana kabar gue sekarang." Gertak Nara seakan tak ingin kalah dari Ciko.

Ciko menghela napasnya, ia bisa merasakan sedikit rasa sakit yang Nara alami selama ini. 

Tapi jika terpuruk seperti ini, terus melarikan diri dari masalah, tak akan membuat hidupnya berkembang. Bagaimanapun Nara harus keluar dari gelapnya masa lalu, untuk melangkah menuju indahnya masa depan.

Di genggamannya, ada sebuah foto keluarga yang dahulu begitu harmonis. Di sana ada Nara yang masih berumur 6 tahun, kakaknya—Arman yang saat itu berumur 10 tahun serta dua pasangan yang memberi senyum lebar. 

Nara dan Arman tampak nyaman di pangkuan kedua orangtuanya itu. 

"Gue belum siap, Ko. Gue berharap apa yang gue alami ini cuman mimpi dan gue pengen segera bangun dari tidur panjang ini." Jawab Nara menegaskan kalimatnya.

"Lo harusnya ngalah dulu, Nar, demi kesehatan dan masa depan lo." Desak Ciko. 

Bukan ikut campur dalam urusan keluarga dan kehidupan Nara. Hanya saja ia begitu khawatir dengan kondisi Nara yang sekarang. Ia tak ingin selepas kepergiannya ke Jogja, Nara berakhir seorang diri di sini, benar-benar sendiri.

BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang