Bersama-sama

112 61 25
                                    

"Ini gak terlalu penting sih." Nara memulai pembicaraan ketika mereka telah duduk santai di kafe dan telah memesan minuman dan cemilan.

Arya tersenyum, ia sedikit memiringkan kepalanya untuk mengintai tiap lekuk wajah Nara yang menjadi candunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arya tersenyum, ia sedikit memiringkan kepalanya untuk mengintai tiap lekuk wajah Nara yang menjadi candunya. "Katanya kangen?"

"Kalau urusan kangen itu bener." Balas Nara cepat membuat Arya terkekeh. "Tapi alasan yang sebenernya aku ngajak ke sini tuh bukan cuman kangen aja."

"Terus kenapa?" tanya Arya santai. 

Pemuda itu menyeruput kopinya. Beruntung hari ini Wildan dan Rangga memberikannya izin untuk bertemu Nara sebentar, dan kembali lagi setelah satu jam. Karena ada beberapa barang masuk yang harus diurus oleh mereka di kafe.

"Kamu kan katanya mau banget ketemu sama keluarga aku?" Arya mengangguk. "Tapi, Arya aku bingung."

"Bingungnya kenapa?"

"Orangtua aku udah cerai satu tahun yang lalu. Dan aku sebenernya gak tinggal serumah lagi sama mereka."

Arya sempat tertegun ketika mendengar penuturan Nara, pemuda itu ingin mengajukan pertanyaan namun ia tahan terlebih dahulu.

"Aku tinggal di rumah sama kakak aku, dia pulang gak tentu karena dinas di luar kota. Kadang aku di temenin saudara aku kalau dia lagi libur kerja dan sekarang dia udah menetap di Jogja. Kamu pasti nanya, kenapa aku gak milih serumah lagi sama papa ataupun mama, karena.." 

Nara memejamkan matanya, begitu berat rasanya untuk menceritakan ini kepada Arya.

Mengerti dengan raut wajah Nara yang cepat berubah, Arya menyentuh punggung tangan Nara untuk menguatkan gadis itu.

Tanpa Nara sadari air mata yang sudah mengenang di pelupuk matanya sedari tadi itu telah luruh jatuh melewati pipinya. "Aku belum siap nerima semua ini. Aku selalu ngerasa kalau orangtua aku tuh gak pernah berpisah. Tapi semenjak mereka udah menemukan keluarga barunya, mereka seakan ngebuang aku. Mereka hampir gak pernah ngeluangin waktu lagi buat aku. Bahkan mama, yang sekarang ada di luar pulau. Satu tahun ini hubungan aku dan orangtua kandung aku nggak baik-baik aja, Ya."

Nara mencoba menarik napas dan mengeluarkannya perlahan. Begitu ia lakukan berulang kali. 

Sementara Arya masih terus mengelus punggung tangan gadis itu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. 

"Ini bukan sekedar curhat, Arya. Aku takut terjadi apa-apa kalau aku ngenalin kamu ke mereka."

Untuk sesaat Arya hanya diam seraya berpikir. Mencoba meresapi tiap kata yang keluar dari mulut Nara. Saat itu Arya meminta izin untuk berkenalan dengan orangtua gadis itu bukan tanpa alasan. 

Niatnya dari awal memacari Nara bukan sekedar untuk main-main saja. Meskipun waktu masih jauh dan masih banyak hal yang mesti di kejar, Arya telah menetapkan hatinya hanya untuk Nara. 

Menurutnya ketika orangtua mereka sudah saling mengenal satu sama lain dan tahu bahwa Nara dan Arya tengah menjalani kasih, Arya tinggal memikirkan bagaimana caranya untuk sukses dan menikahi Nara. 

Akan tetapi masalah Nara sedikit mengguncang pertahanannya. Kendatipun wajah Arya terlihat santai, dalam dirinya Arya juga bingung. Orangtua yang tidak akur dengan anaknya seperti Nara dan ayah ibunya akan sulit untuk diyakinkan. Sebab ada beberapa hal yang harus dulu diselesaikan sebelum ke tahap perkenalan sebagai kekasih Nara.

"Kayaknya jangan dulu, Arya. Lain waktu aja. Aku gak mau kalau nanti kamu atau aku kena marah." Nara menghela napas, kepalanya tertunduk lemas.

Arya menatap lekat gadis di hadapannya itu. Jantungnya mencelos mengetahui kehidupan Nara pun sulit. Jauh dari orangtua, serumah dengan saudara yang jarang ada di rumah pasti sangat berat untuknya meskipun gadis itu selalu terlihat ceria. 

Nara tak menunjukkan bahwa ia lemah, justru Nara menjadi titik semangat untuk Arya sendiri tanpa gadis itu sadari.

"Nara.." Arya menggenggam tangan kanan Nara. Manik mata hitam legamnya itu bertemu dengan mata sendu Nara. 

"Aku gak peduli kalau nanti orangtua kamu gak suka sama aku. Niat aku ketemu mereka untuk secara halus bilang kalau aku mencintai anak gadisnya dan siap untuk menjaganya setiap waktu. Meski belum sepenuhnya, karena aku belum jadi suami kamu." 

Senyum Arya tak surut sama sekali. "Kalau kamu takut, kita hadapin bareng-bareng, oke?"

"Tapi, Arya.."

"Nar, hidup dalam ketakutan akan membuat kamu tetap berada di satu titik tanpa ada kemajuan. Kita harus berani, Nara, untuk kebaikan kamu." 

Nara menghela napasnya lagi. Kepalanya sedikit pusing karena terlalu banyak berpikir. 

"Sekarang niat aku untuk bilang secara halus kalau aku sayang sama kamu, kita nomor duakan. Yang nomor satu adalah aku pengen lihat kamu sama orangtua kamu berdamai."

Mendengar penuturan itu, Nara mengangkat satu alisnya.

Arya langsung membenarkan apa yang ia katakan, "Nara, sejahat apa pun orangtua kita, mereka harus tetep kita hormati dan sayangi. Orangtua kamu berpisah bukan karena keinginan mereka. Tapi karena keadaan yang membuat mereka akhirnya mengambil pilihan untuk bercerai. Kita harus mengalah, Nara...

...Kalau masalahnya adalah kamu gak ada komunikasi sama sekali mengenai hal-hal yang kamu harapin selama ini, harus kamu duluan yang memulai. Jangan sama-sama keras kepala. Logikanya, kalau emang orangtua kamu udah gak peduli sama kamu, untuk apa mereka kerja cape-cape dan kirim uang ke kamu selama ini?"

Nara tertegun, perkataan Arya ada benarnya. Kata demi kata cukup menyenggol hatinya.

"Jangan terlalu lama untuk memendam amarah. Itu gak baik, Nar. Kamu harus ikhlas dengan takdir yang Allah berikan buat kamu. Allah gak mungkin ngasih cobaan untuk hambaNya yang tidak mampu menghadapi masalah itu. Dibalik semua ini aku yakin ada hikmahnya untuk kamu, Nara. Kalau kamu takut, kita maju bareng-bareng, baik buruknya yang terpenting kita coba."

"Tapi, Arya, orangtua aku keras—"

"Mereka tetep sayang kamu, Nara. Mungkin memang ada mantan suami, mantan istri, mantan pacar. Tapi di dunia ini gak ada yang namanya mantan anak." Arya mengatakan itu dengan intonasi yang tegas.

Nara mengusap air matanya yang sudah sedari tadi jatuh tanpa henti dan mengelapnya dengan tisu yang berada di meja. Sungguh, ini adalah langkah berat yang ia ambil.

"Ada aku, Nar, jangan khawatir. Aku gak akan kemana-mana." Arya tersenyum, membantu Nara mengusap air matanya dan memeluk gadis itu ketika ia berpindah tempat untuk duduk di samping Nara. 

"Aku sayang kamu, Nar."

"Sayangi mereka selagi ada, Nar. Karena ketika mereka udah gak ada, rasa sesal pasti akan selalu tumbuh dan abadi dalam diri kamu." 

Tanpa Nara ketahui, Arya menitikan air mata. Pemuda itu begitu merindukan orangtua kandungnya yang entah dimana dan menangisi kehidupan kelam bersama orangtua angkatnya. Meskipun begitu, Arya tetap menyayangi mereka semua.

.....

BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang