Terbawa Perasaan 1

174 84 47
                                    

Kucing berwarna abu-abu itu menggoyangkan tubuhnya, ancang-ancang melompat pada sebuah tali yang tengah Nara mainkan. Gadis itu merasa sangat terhibur dengan tingkah laku kucing kesayangannya yang lucu dan menggemaskan. 

Kentara dengan tawa kecilnya yang terus terdengar ketika kucing berhasil menangkap tali berulang kali. Diraihnya kucing yang dinamai Bubu oleh Nara, lalu terus ia ciumi dengan gemas. Kucing yang beberapa bulan ini menemani kesunyiannya di dalam rumah. 

Saat tengah asik, sebuah telpon berdering membuat Nara terlonjak kaget. Ia lupa menurunkan volume nada dering di ponselnya semalam. Sembari mengusap dada karena terkejut, Nara meraih ponselnya dan mendapati ibu kandungnya di sana. 

"Tumben telpon?" gumamnya.

"Halo?"

"Kamu udah bilang ke papa kamu kalau tanah, rumah dan segala.."

Nara menjauhkan ponselnya dari telinganya. Ia sudah muak mendengar kata-kata itu. Dirinya sudah bisa menebak mengapa ibu kandungnya menghubungi Nara. 

Pasti tidak jauh dari permasalahan harta gono-gini yang seharusnya telah selesai satu tahun silam setelah perceraian. Namun karena keras kepala kedua orangtuanya yang tidak ingin dirugikan dan tidak ingin dibagi dua, jadi mereka terus berebut harta-harta yang bagi Nara tidak ada artinya.

"Nara, kamu denger mama?!"

Dengan malas Nara menjawab, "Ya."

"Gimana udah bilang? Mama denger dari temen mama yang jaksa itu kalau papa lagi ngurusin hak harta itu agar sepenuhnya milik dia."

"Hmm."

"Kamu harus bantu mama perjuangin itu Nara. Biar semua harta terbagi adil sesuai perjanjian dulu. Jangan sampai papamu meraup semuanya!"

"Ya, ma.."

"Nara, kenapa cuman itu aja jawabannya! Kamu tau sendiri kalau ini urusan penting banget buat mama."

"Oh jadi Nara selama satu tahun ini gak penting buat mama?" dada Nara bergemuruh. "Mau Nara gimana pun, mama udah gak peduli sama sekali ya?" 

Tak ada jawaban dari seberang sana. 

"Mama ataupun papa ngehubungin Nara pasti gak jauh dari soal harta hak perceraian kalian. Sekali aja kalian tanya, Nara apa kabar? Gimana udah makan? Nara cuman anak kecil, Ma. Nara gak tahu apa-apa soal perceraian. Kenapa kalian selalu membebankan itu semua ke Nara?" air mata Nara mengalir begitu saja dengan sesak yang telah menyeruak di dada. 

Luka yang seharusnya sembuh, makin hari malah makin melebar saja. "Tapi kayaknya sekarang Nara gak ada artinya buat kalian setelah kalian masing-masing punya keluarga baru."

Tanpa menunggu persetujuan, Nara memutuskan panggilan secara sepihak. Ia tak peduli akan di cap anak durhaka. Mungkin dia akan balik menyerang orang yang berkata seperti itu padanya. 

Jika memang ada anak durhaka di dunia ini, lantas orangtua yang tak memperdulikan anaknya sama sekali dan terus menyakitinya, apa pantas disebut orangtua durhaka?

Nara tidak butuh uang. Justru yang Nara butuhkan adalah bentuk kasih sayang mereka yang selama ini selalu Nara rindukan. Akan tetapi Nara tidak bisa apa pun. Sebab ketika keduanya menghubungi Nara, pasti berujung pertengkaran yang membuat Nara muak akan hal itu. 

Karena mood pagi itu telah hancur, Nara memutuskan untuk pergi keluar mencari udara segar. Dengan cara itulah ia bisa kembali pulih, meskipun di pikirannya masih terbayang jelas mengenai masalah-masalah yang membuatnya lemah.

.......

"Woi, senyum-senyum bae. Kenapa lo? Stres?" Rangga menarik kursi dan duduk di samping Arya.

Arya yang terkejut karena ke-gep Rangga langsung gelagapan dan memasukan ponselnya ke saku. "Siapa yang senyum-senyum? Orang biasa aja." Jawabnya.

BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang