Satu jam berlalu Arya terperanjat ketika seseorang membangunkannya. Ternyata orang itu adalah pemilik kios.
"Mas saya mau tutup, kalau mas tidur di sini tanpa pengawasan, nanti mas bisa-bisa dirampok."
"Jadi bapak—"
"Iya, mas, saya mau bangunkan mas untuk tidur di dalam. Tapi mas terlalu nyenyak tidurnya, jadi saya gak tega. Saya kasih selimut aja dan saya suruh anak saya diem di luar jagain mas. Sekarang saya mau pulang, mas. Mas gapapa kan saya tinggal?"
"Gapapa, pak, gapapa. Makasih banyak ya, pak."
Arya melipat selimut dan memberikannya kepada pemiliknya. "Makasih pak selimutnya, maaf merepotkan."
"Gapapa, mas, sama-sama. Saya pamit pulang ya."
Arya mengangguk. "Hati-hati, pak."
Arya tak sadar jika dirinya tertidur begitu lama. Ia merogoh sakunya ketika ponsel terus bergetar.
Saat dilihat, sudah 65 panggilan tak terjawab dari Wildan. Mereka pasti mengkhawatirkan Arya. Lalu sebuah panggilan kembali muncul, itu dari Rangga.
"Dimana lo, sialan! Gue sama Wildan khawatir!" bentak Rangga begitu Arya menerima panggilan.
Alih-alih balas membentak, Arya tersenyum. "Aku masih di Bandung, sayang."
"Goblok! Bisa-bisanya bercanda. Kapan pulang?"
"Gak tau."
"Udah nemu nyokap lo?"
Arya menghela napas lemas. "Belum."
"Sekarang lo dimananya?"
"Emang kenapa?"
Terdengar suara dengusan di seberang sana. "Lo harus istirahat dulu, Arya! Jangan sampe lo jadi gelandangan di sana. Nanti lo lanjutin pencarian nyokap lo. Untuk sekarang pikirin kesehatan dan keselamatan lo. Belum lagi kan lo kuliah."
Lalu ponsel diambil alih oleh Wildan. "Gue sama Rangga udah di jalan ke sana. Share lokasi di WA dan jangan pindah tempat." Kemudian panggilan diputus sepihak.
Ketika Rangga dan Wildan sudah bertindak tegas, Arya tak bisa mengelak. Kecemasan mereka adalah bentuk kasih sayang untuk Arya.
Maka Arya hanya menurut saja. Mengirim lokasi tempatnya berada dan menunggu kedatangan Wildan dan Rangga untuk menjemputnya.
"Ma, tunggu Arya, ya. Arya bakal terus berusaha cari mama."
.......
Di balik selimut yang menutupi setengah tubuhnya, Nara menggeliat hebat. Suara dering jam weaker membangunkannya dari mimpi yang panjang. Setelah mematikan jam dengan hentakan yang keras, Nara menatap langit-langit kamar.
Bayangan ketika Arya memohon padanya kemarin masih terngiang di kepala. Seperti ada ketulusan yang terpancar disana. Namun untuk kepersekian detik kemudian Nara menepis pikiran itu tatkala bayangan Siska yang datang menggaet Arya membuatnya berdecak sebal.
"Kenapa sih gue harus mikirin terus mereka?!" Nara berteriak di dalam bantal.
Melangkah turun melewati tiap anak tangga, Nara terpaku saat melihat Arya yang sedang memasak bersama Tani di dapur. Diliriknya jam, masih menunjukkan pukul 6 pagi. Sepagi itu Arya ke rumahnya?
"Sini."
Nara menarik tangan Arya yang tengah membuat adonan. Seperti biasanya, Arya hanya membantu sedikit tapi penampilannya sangat acak-acakan.
Mulai dari pipi yang belepotan tepung terigu, irisan daun bawang ada di kepala, dan celemek yang terkena adonan.
"Kenapa?" tanya Arya saat sampai di depan halaman rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]
Fiksi RemajaBifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah r...