"Kayaknya Arya emang lagi ada masalah deh, Nar."
Sempat-sempatnya Agis berkomentar ketika bakwan memenuhi mulutnya. Meskipun begitu suara Agis cukup terdengar jelas.
Nara tak berselera, tak satupun gorengan yang sengaja dibeli Vina ia sentuh. Hanya ditatap dengan pikiran yang berterbangan.
"Lo diemin aja dulu Arya, mungkin Arya lagi butuh waktu sendiri." Tambah Vina.
"Iya palingan nanti dia baik sendiri lagi. Cowok mah gitu."
Agis tampak menikmati gorengannya. Terlihat bagaimana ia sampai melamoti minyak di tangannya. Memang jempol gorengan ibu kantin di kampus ini.
Gorengan populer yang membuat siapapun akan segera tergiur saat aromanya terhirup hidung.
Dengan tampang lesu, Nara teringat sesuatu. "Bukannya kita aktor di pementasan teater tahun ini udah dilarang gak boleh makan gorengan ya? Kata bang Dion nanti bakal ngaruh ke suara, apalagi pas pementasan kita gak pake micrhopone." Ujarnya seraya menatap bakwan.
Vina dan Agis tersedak bersamaan. Mereka memukul-mukul dada karena terbatuk. Agis kelayapan mencari air minum karena dirasa gorengan menyangkut di tenggorokannya.
Sementara Vina masih sibuk memukul dadanya yang sesak. Mereka berdua sama-sama lupa akan hal itu.
Vina memegangi bahu Nara. Sementara Nara menatapnya lesu. Ia tak bertenaga untuk menghempaskan cekalan Vina yang cukup kuat. "Jangan laporin ini ke bang Dion. Please."
"G-gue juga." Mohon Agis.
Nara menjauhkan salah satu tangan Vina dari pundaknya. "Siapa juga yang mau laporin." Suara Nara begitu lemah. Seperti tak ada lagi semangat hidup.
Vina dan Agis bernapas lega. Mereka melanjutkan makan gorengannya dengan semangat. Rasa nikmat gorengan ibu kantin tak bisa ditahan.
Terlebih lokasi mereka makan begitu jauh dengan ruangan teater. Nara masih asik dengan renungannya. Membolak-balikkan ponselnya dengan pikiran yang berkelana.
Ketiba-tibaan Arya membuatnya bingung harus berbuat apa. Kata Vina dan Agis, harus mendiamkan balik Arya. Tapi kata hatinya? Perjuangkan. Caritahu.
Hingga suara deheman seseorang lagi dan lagi membuat Vina dan Agis mati kutu. Berbeda dengan Nara yang tak terusik. Gadis itu masih asik dengan aktivitas renungannya.
"Makan apa nih? Enak banget kayaknya."
Seringaian Arsen sukses membuat Vina dan Agis tak bisa berkata-kata. Mereka tercyduk.
"Mau satu boleh? Ini gorengan Bu kantin ya? Pantesan kelihatan nagih banget."
Mereka menelan saliva kuat-kuat dengan kunyahan yang belum habis di mulut yang menggembung dan gorengan yang berada di tangan mereka.
Mata Nara perlahan menatap Arsen yang kini ikut duduk di kursi kosong. Melingkari meja yang menjadi barang bukti mereka makan gorengan serta,
"Es teh?" Arsen mengangkat gelas ke hadapan mereka bertiga. "Wah emang sih terik gini pas banget makan gorengan sama es teh."
Habislah riwayat mereka, kecuali Nara. Kegalauannya menyelamatkannya.
"Suruh siapa makan gorengan? Gak inget kalian itu pemeran di pementasan tahun ini?" Suara Arsen tegas. Kontras dengan tatapannya yang menusuk kepada ketiganya. Nara tak peduli.
"M-maaf bang, s-saya lupa." Agis menciut, ia menelan bulat-bulat gorengan yang ada di mulutnya. Tanpa minum.
"S-saya juga–"
KAMU SEDANG MEMBACA
BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]
Teen FictionBifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah r...