Maaf, Nar.

34 9 1
                                    

Senandung Nara

Suaramu yang begitu lemah seperti hukuman untukku. Pagi yang seharusnya dihiasi dengan senyum manismu, kini tampak temaram meski harinya terlihat cerah benderang. Tanganku terkepal, menahan amarah yang menghujam diriku sendiri. 

Dalam hati yang menderu, aku merutuki diri. Menembak dengan segala kata yang menusuk jika didengar secara langsung. Haruskah aku setega ini kepada berlian yang setiap hari selalu mengkilat indah? Kepada bulan yang selalu menemani malam? 

Kepada kasih yang selalu menjadi alasanku tetap bersemangat? Aku takut, apabila sikapku dapat merusak keindahan dalam senyummu. Membuat harimu tidak baik-baik saja dan membuatmu perlahan mundur lantas pergi dariku.

Aku hanya bisa berkeluh dalam hati yang kisruh. Mencoba untuk menangani ini sendiri, berharap ada akhir bahagia nanti. Yang pasti aku tetap mencintai gadis yang kupilih. Senandung Nara. Gadis yang telah meluluhlantakkan hati. Mengacak-acak semestaku dan menetap di hati tertinggi.

"5 November 2021." Bisik Arya sebelum menutup buku dan pulpennya. 

Air mata pemuda itu menitik bersamaan dengan ponselnya yang menyala. Sebuah pesan tertera di sana, dari Nara. Membuat hatinya makin kisruh.

Aku gak tau ada apa sama kamu. Tapi di sini aku tetep nunggu kamu kembali baik-baik aja. Kalau pun diamnya kamu karena aku, aku minta maaf. Aku sayang kamu.

Arya semakin bingung. Ia makin merasa bersalah karena telah menyakiti Nara seperti ini. Seandainya saja ia punya keberanian, mungkin Nara tak akan ia sakiti.

.......

Wildan baru saja membereskan catatan administrasinya mengenai anggaran kafe bulan ini. Ketika mengangkat kepala, ia mendapati Arya bersedekap tangan sembari menatap kosong ke depan. 

Kaki yang terangkat ke meja dan kopi yang sudah mendingin tanpa disentuhnya sama sekali. Padahal sahabatnya itu rusuh meminta Rangga membuatkannya kopi. Rangga menurut saja meskipun dengan mendumel tak henti.

"Kenapa lo? Murung terus."

Arya geming di tempat.

"Kalau ada apa-apa biasanya lo nyerita, Ya."

Arya masih saja geming. Pertanyaan Wildan seolah tak terdengar olehnya. Atau memang sengaja tak didengar. 

Wildan menarik napas, menutup bukunya dan beranjak dari kursinya untuk duduk bergabung di samping Arya. 

"Ada apa? Kemarin lo gak dateng lagi ke kafe, bahkan gak jemput Nara. Ada apa sebenarnya? Ada sesuatu yang terjadi di rumah?"

"Lo tau gue gak jemput Nara?"

Wildan mengangguk, "Kemarin dia WA, nanyain lo."

Arya menghembuskan napasnya pelan.

"Lo ada masalah sama Nara atau ada masalah di rumah?"

"Gue gak bisa nyeritain ini sekarang." Tutur Arya dengan hati yang teramat berat. 

Air matanya seperti akan keluar jika tidak Arya tahan. 

"Yang pasti gue gak mau nyakitin Nara. Tapi.. baru hari ini, gue malah udah bikin dia ngerasa sakit hati. Gue gak tau harus gimana, Wil. Masalah ini ada di depan mata gue, dan gue gak mau Nara tau. Karena kalau dia tau, pasti dia sakit hati banget." 

Satu tarikan napas lagi, Arya ambil sebelum melanjutkan. "Padahal gue udah janji untuk selalu bahagiain dia, tapi sekarang apa.. gue ngerasa.. kalau gue itu bajingan." 

Arya menekankan kata 'bajingan' seakan merutuki dirinya sendiri.

Bersamaan dengan air matanya yang mengalir, Arya berkata, "Gue bajingan dan pengecut yang ngerasa gak pantes buat Nara sayang."

BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang