Kehilangan Paling Menyakitkan

11 1 0
                                    

Sebagai bukti bahwa apa yang ia katakan bukan sekedar kebohongan, Arsen membawa Nara menuju tempat peristirahatan terakhir Arya.

Meskipun matanya sudah sembab, Nara masih menepis kenyataan bahwa Arya sudah tiada. Pasti pemuda itu berencana untuk memberikannya sebuah kejutan besar dan mengatakan bahwa itu hanyalah prank belaka.

15 menit perjalanan mereka sampai di depan pemakaman umum. Saat itu cuaca mendung dan rintik air mulai menetes ke permukaan bumi.

Nara yang berjalan dengan alat bantu karena kakinya masih belum pulih, dituntun Arsen untuk memasuki pemakaman dengan melewati makam-makam di sana.

Degup jantung Nara sangat cepat. Bukan karena ia takut dengan suasana pemakaman ini, Nara justru takut bahwa apa yang Arsen katakan itu memang benar terjadi.

Dari kejauhan mereka melihat Wildan dan Rangga yang tengah duduk di samping sebuah makam yang terlihat masih baru. Banyak taburan bunga serta karangan bunga di atasnya.

Dari semua yang terlihat, salah satu yang membuat Nara berhenti berjalan dan terpaku di tempat adalah foto Arya yang tersenyum bersandar pada nisan bertuliskan 'Arya Prasetya'.

Lututnya lemas, pandangannya nanar. Dalam sekejap dunianya terasa berhenti untuk sesaat. Namun Nara berusaha menguatkan dirinya.

Ia mencengkram kuat ujung bajunya lalu memejamkan mata. Berharap ketika Nara membuka mata, Arya ada di hadapannya dan mengatakan bahwa itu bukanlah makamnya, melainkan makam orang lain.

Tetapi saat matanya kembali terbuka, keadaan masih tetap sama. Tak ada Arya yang muncul di hadapannya, tak ada seseorang yang mengatakan bahwa ini semua hanya bagian dari rencana untuk memberi Nara kejutan.

Arsen, Wildan dan Rangga sama-sama diam. Mereka seperti mengetahui reaksi Nara melihat ini. Padahal seperti baru saja kemarin dirinya dan Arya tertawa, saling bercanda ria bersama.

Hingga Nara sadar sebuah perpisahan yang Arya sampaikan tanpa sengaja berulang kali padanya.

"Kalau aku nanti gak ada, kamu harus bisa jaga diri kamu baik-baik ya?"

"Emang kamu mau ke mana?"

"Ke Mars, nyusul tukang jamu. Katanya mau jualan di Mars biar laku." Kekeh Arya. Mendapat pukulan dari Nara.

Beberapa menit kemudian pertahanan Nara runtuh. Ia tak sanggup lagi menepis semuanya. Bukti sudah ada di depan mata.

Gundukan tanah dipenuhi bunga dan bertuliskan nama Arya pada nisannya tidak mungkin sebuah kebohongan. Tangis yang masih terlihat di wajah Rangga dan Wildan tidak mungkin hanya akting belaka.

Dan kecelakaan itu bukan sebuah mimpi. Nara dapat melihat sendiri betapa banyak darah yang keluar dari kepala Arya, sebelum pada akhirnya Nara ikut tak sadarkan diri di tempat.

Gadis itu berjalan gontai menuju makam Arya. Ia bersimpuh di samping gundukan tanah penuh dengan luka dari orang-orang yang ditinggalkannya.

Dielusnya foto Arya yang tersenyum abadi di sana. Senyum yang selalu Nara lihat ketika mereka bersama. Senyum yang kelak akan Nara rindukan di setiap pagi dan setiap waktu.

Hingga tangisnya pecah. Nara memeluk gundukkan tanah itu dan menangis sejadi-jadinya di samping makam Arya.

Seakan yang dipeluknya kini adalah Arya, Nara melampiaskan semuanya.

Wildan menunduk, betapa sakit hatinya ia ditinggalkan oleh sahabat yang sudah ia anggap adik sendiri. Ia berusaha menahan untuk tidak lagi menangis.

Namun gagal, air matanya memaksa untuk keluar kembali. Rangga, seseorang yang paling memperhatikan kesehatan Arya. Seorang yang selalu sigap mengobati luka sahabatnya itu, kini tak bisa mengobati luka yang begitu parah dan merenggut nyawa Arya.

P3K yang ia miliki tak lagi berarti. Sebab semua itu tak bisa mengembalikan nyawa Arya. Nyawa sahabat yang begitu ia sayangi dan cintai.

Kini semua kehilangan sahabat, kekasih dan teman yang selama ini berada di samping mereka. Sosok Arya yang selalu tersenyum, menghibur dan tak pernah mengharap balasan ketika membantu, sekarang telah tenang di samping Allah SWT.

Mungkin sulit untuk mereka semua menerima kenyataan yang begitu pahit ini, namun kehendak Allah tak bisa diganggu gugat.

"Arya katanya kamu gak bakal ninggalin aku. Kenyataannya apa? Kamu malah pergi jauh, Ya!" Nada Nara terdengar gemetar, diiringi isak tangis yang memilukan.

"Baru aja malam itu kamu janji ke aku. Kenapa kamu ngingkarin janji itu lagi?"

Hujan yang tadinya hanya sebuah gemercik biasa kini turun dengan deras. Namun hujan itu tak membuat keempatnya beranjak dari tempat.

Mereka seakan tak peduli lagi akan air yang mengguyur tubuhnya.

Nara terus menangis, ia sangat terpukul dengan kenyataan bahwa Arya tak akan pernah ia temui lagi di dunia ini.

Pemuda itu sudah terlampau jauh melangkah meninggalkan Nara sendiri. Tak akan ada lagi seseorang yang menunggunya di depan rumah setiap pagi.

Tak akan ada lagi seseorang yang menunggunya di pelataran parkir. Tak ada lagi seseorang yang mengunjungi rumahnya dan malah berbincang dengan ayahnya seputar burung perkutut.

Tak ada lagi yang bisa ia ajak bercanda sampai tertawa terpingkal-pingkal.

Arsen tidak tahu bahwa kehilangan seseorang yang kembali padaNya akan sesakit itu. Melihat Nara yang menangis membuat hatinya pilu.

Hatinya remuk mendengar rintihan tangis Nara sambil memukul-mukul gundukan tanah, berlawanan dengan hujan yang makin deras.

Seandainya Arsen punya kekuatan untuk menghidupkan kembali Arya, pasti akan ia lakukan. Sebab melihat Nara begitu terpukul kehilangan Arya, membuatnya mengerti bahwa cinta Nara begitu dalam untuk Arya.

Tetapi Arsen hanya manusia biasa yang tidak bisa berkehendak semaunya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menemani Nara dalam keadaan apa pun.

Mengetahui makin deras hujan disertai petir yang menyambar, Arsen mendekati Nara, berjongkok dan memegang bahu gadis itu.

"Nar, hujan makin deras, kita harus pulang." Ujarnya sedikit meninggi karena melawan dengan suara hujan.

Nara menggeleng. "Aku mau di sini!"

"Nara, nanti kamu sakit."

"Mending aku sakit dan nyusul Arya, daripada aku hidup tapi gak sama dia."

"Nara, jangan bilang gitu!"

Nara menepis tangan Arsen, "Pergi dari sini! Jangan ganggu gue!"

"Nar, kita harus pulang." Kata Wildan. Ia sudah basah kuyup, begitu pula dengan Rangga. "Bahaya."

"Gak!"

Rangga yang sedari tadi hanya diam kini bersuara. "BUKAN CUMAN LO DI SINI YANG KEHILANGAN ARYA! GUE SAMA WILDAN NGERASAIN HAL YANG SAMA! BAHKAN SEBELUM DIA SAMA LO, ARYA DAN KAMI UDAH SAHABATAN DARI KECIL! COBA PIKIRIN BETAPA SAKIT HATINYA KAMI BERDUA MENERIMA KENYATAAN BAHWA ARYA UDAH GAK ADA!"

Wildan, Nara dan Arsen menatap kaget ke arah Rangga. Dada Rangga naik turun. Ia menangis, namun karena hujan mengguyur, tangis itu tak terlihat.

Lantas Rangga berjongkok lemas. Mengusap bingkai foto Arya dengan penuh kasih sayang.

"Seandainya gue tau kalau hari itu adalah hari terakhir Arya hidup, gue bakal cegah dia untuk pergi sama lo."

"Rang," Wildan memegangi bahu Rangga. Rangga menangis sampai bahunya gemetar.

"Kita semua sayang sama Arya. Kita semua gak mau kehilangan dia. Kita sama, Nar.. apa yang kita rasain sama.. tapi jangan egois dan bilang kalau lo mau mati sama dia."

Nara tak membalas. Ia menunduk, sesenggukan.

"Ayok pulang." Kata Arsen sekali lagi. Dan kini Nara menurut.

Sebelum berdiri, diciumnya bingkai foto Arya dan melantunkan ucapan selamat tinggal untuk terakhir kalinya.

Masih dengan isak tangis, perlahan Nara bangkit dengan dituntun Arsen. Diikuti Wildan dan Rangga di belakangnya.

.......

BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang