Ardan Mahendra
Menceritakan kisah seorang remaja penikmat luka yang selalu menemani harinya.
Apakah Ardan bisa mendapatkan kebahagian atau sebaliknya?
°Start : 10 September'22
°Finish : 10 Juli'23
#Cover by Pinterest!
[ Isi masih acakadut + belum r...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ardan sampai di rumah setelah mengantarkan Annisa pulang. Dia langsung pergi menuju kamarnya tanpa menemui orang rumah terlebih dulu.
Membuka pintu kamar, dan langsung merebahkan badannya. Entah mengapa, hari ini dia merasa lelah bahkan kepalanya kembali merasakan pusing. Berbaring dengan memijat pelan kepalanya tidak membuat pusing itu mereda. Justru tanpa sadar, sesuatu mengalir dari dalam hidungnya.
Ardan mimisan, dia tidak tau apa yang terjadi pada dirinya sebenarnya. Pusing bahkan sampai mimisan yang dia alami akhir-akhir ini, sungguh membuatnya jadi takut. Dia takut kalau ternyata dirinya mengalami sakit serius. Dia tidak mau itu.
Segera Ardan bangkit dari ranjangnya, dan berjalan menuju kamar mandi. Dia termenung menatap cermin di depannya, melihat wajahnya yang pucat dengan noda darah di sana. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengatakan kalau dia tidak baik-baik saja.
Tidak mau termenung lebih lama, Ardan memutuskan untuk mandi, dan mencoba mengabaikan kondisinya saat ini. Setelah mandi, dia langsung memutuskan untuk tidur.
°°°°°°°°
Ardan terbangun dari tidurnya. Dia melihat sekeliling dengan pandangan bingung. Di mana sekarang? Tempat apa ini? Banyak lukisan-lukisan kuno yang terpajang di dinding. Dia bangun dari tempat tidur dan berjalan ke luar dengan pelan.
Pemandangan pertama yang dia lihat saat pintu terbuka adalah taman yang luas dengan bunga-bunga bermekaran yang indah. Bau khas bunga langsung menyengat indra penciumannya. Dia melihat sekeliling, dan hanya dirinyalah yang di sini. Tidak ada siapapun, bahkan hewan pun tidak terlihat di sini.
"Di mana ini?," ungkapnya dengan lirih.
Tak lama terdengar suara tawa seseorang. Telinganya mencoba untuk mencari di mana suara itu berada. Dia lalu menoleh ke arah samping kanannya, dan matanya menangkap keluarga dengan satu anak kecil di tengah-tengah mereka. Mereka sendang merayakan hari ulang tahun anaknya.
Ardan menghampiri mereka dengan pelan. Dirinya seperti mengenal mereka. Berjalan dengan pelan dan mencoba memastikan apa yang dia pikirkan itu benar atau salah.
Langkahnya terhenti tatkala datang seorang anak kecil yang rupanya mirip dengan anak yang sedang merayakan ulang tahunnya.
Dia datang dengan berteriak yang membuat keluarga itu diam dan menatapnya.
"Belhenti! Kalian tidak bisa melayakan ini tanpa aku," ucap anak itu dengan tangisan di wajahnya, bahkan dirinya masih belum bisa mengucapkan huruf 'R'.
"Sini, Dek kita rayain bareng-bareng," jawab sang kakak.
Anak yang tadi langsung mengambangkan senyuman di wajahnya mendengar itu. Dia dengan senang hendak berjalan mendekat. Namun--
"Jangan mendekat! Kamu gak boleh iku perayaan ini," ucap sang Ibu.
"Tapi, hali ini aku juga ulang tahun, Bun," katanya.
"Tidak, kamu bukan anak kami, jadi jangan ikut perayaan ini!" tegas sang ayah.
Sang anak yang mendengar itu menatap mereka dengan kecewa, lalu pergi meninggalkan mereka dengan tangisan.
Ardan yang melihat keluarga itu merasakan sakit di dadanya. Itu dirinya, dirinya yang dulu. Mengapa dia bisa berada di sini, dan melihat kejadian ini, mengapa? Dia tak ingin lama-lama di tempat aneh ini. Segera dia berbalik badan dan mencari jalan untuk keluar.
Mencari di setiap sudut hingga matanya menangkap cahaya putih yang sangat berkilau. Dengan ragu, dia berjalan perlahan ke arah itu. Dirinya seakan tertarik dengan cepat sampai dia tidak tau apa yang terjadi.
Ardan membuka matanya perlahan, dan mendapati bahwa dia berada di kamarnya. Ternyata itu semua hanyalah mimpinya. Mimpi yang melihatkan dirinya di masa lalu.
Perlahan dia duduk dan mengingat lagi mimpi itu, rasanya seperti nyata yang membuat sakit di hatinya masih terasa hingga sekarang.
"Bahkan, kalian masih bersikap seperti itu sampai sekarang." Ardan menghela napas sejenak untuk menenangkan hatinya.
"Lusa ... Hari Rabu adalah ulang tahunku yang ke 17, apa kalian masih sama dengan dulu yang tidak mau mengucapkan itu kepadaku?" ucapnya dengan lirih.
°°°°°°
Di lain tempat, Argan dan Sinta berencana ingin merayakan ulang tahun kali ini bersama-sama. Mereka ingin Ardan merasakan kehangatan keluarganya lagi.
Entah bagaimanapun caranya, mereka harus bisa untuk melakukan ini. Tahun-tahun kemarin, Ardan selalu mengurung diri di kamarnya saat hari ulang tahunnya. Meskipun Ardan tidak tinggal lagi dengan mereka, seenggaknya mereka bisa menggunakan hari spesial ini untuk bersama.
"Jadi gimana, Bun?" tanya Argan.
"Kita nanti dekor taman yang ada di sebelah sekolah itu, dan kita akan kejutkan Ardan lusa." Sinta menjelaskan semua rencana yang akan mereka buat. Dia begitu antusias untuk melakukan ini.
Argan mengangguk, dia lalu mengambil handphone-nya dan menghubungi temannya untuk membantunya nanti.
"Semoga aja nanti nggak ada kejadian apa-apa ya, Bun." Argan sangat berharap seperti itu, karena memang mereka jarang sekali bersama, meskipun mereka adek kakak.
"Semoga, Sayang."
Mereka lalu melanjutkan menyusun rencananya. Mereka tak sadar bahwa percakapan mereka didengar oleh Arga.
"Kalian gak bisa ngerayain itu, karena aku akan bikin acara di rumah, dan mengundang semua teman kantor!" Arga mengucapkan itu sambil menghampiri keduanya. Dia tidak bisa membiarkan itu semua. Dia tau kalau Ardan sudah kembali bawahannya. Meskipun dia sempat merasa menyesal dan ingin meminta maaf. Namun, yang namanya Arga tetap kekeuh dengan egonya.
Sinta dan Argan tidak terima akan itu. Kalau begitu, maka rencana mereka akan gagal, bukan?
"Nggak bisa gitu dong, Mas. Aku udah ngerencanain ini sama Argan, malah kamu seenaknya mutusin kayak gitu!" protes Sinta.
"Iya, Pah. Kita juga ingin ngerayain bareng Ardan. Papah jangan egois dong!" Argan marah. Akhir-akhir ini emosinya jadi tidak stabil, bahkan dia tak segan-segan untuk membantah ucapan Arga.
Sementara itu, Sinta yang melihat Argan mulai kesulut emosi pun menenangkannya. Dia harus bisa membuat Argan tenang agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Arga memutar bola matanya malas. Apakah salah kalau dia ingin membuat perayaan di rumah? Toh juga hal yang biasa saja.
"Nurut sama Ayah, Argan! Lagian itu juga buat kamu," tegasnya.
"Kalau tau ulang tahun aku, Ayah seharusnya lebih baik ngebolehin aku ngerayain sana Ardan, Yah," ucapnya dengan lirih.
"Sekali ini aja, Mas. Biarin kita ngerayain sama Ardan. Kami sangat senang jika kamu mau menyetujuinya," ucap Sinta. Dia memohon agar Arga mau menyetujuinya.
"Sekali tidak tetap TIDAK!" Setelah mengucapkan itu, Arga pergi meninggalkan mereka merdua yang terduduk lemas. Pandangan mereka seperti kosong. Rencana yang mereka susun dengan matang kini telah hancur dalam sekejap. Mereka membayangkan betapa menyenangkannya lusa nanti saat ngerayain bersama dengan Ardan. Namun, itu semua lenyap karena putusan sepihak Arga.