48°

2.6K 98 2
                                    

Sinar mentari tak menampakkan diri pagi ini. Pagi yang seharusnya cerah telah tertutupi oleh awan mendung.
Di pemakaman umum, kini ramai akan orang. Mereka bergerombol di salah satu makam. Makam seorang pemuda yang baru beberapa menit lalu dikuburkan.

Terlihat dari tanahnya yang masih merah, serta banyaknya bunga di atasnya.
Membuktikan bahwa seseorang itu telah benar-benar pergi.
Satu-persatu orang mulai melangkah untuk pergi. Hingga tersisa beberapa orang yang masih setia menatap kosong ke arah gundukan tanah itu.

Mereka yang tersisa tak sanggup lagi menahan tangisannya. Masing-masing teringat akan kenangan-kenangan indah bersama sosok yang telah damai itu.

ARDAN MAHENDRA. Dua kalimat yang terlihat dengan jelas di batu nisannya. Seorang remaja yang telah memilih menyerah dari semua hal di dunia. Sosok yang kini menjadi pusat penyesalan bagi seseorang di sekitarnya.

Ayu, Bara jongkok di sebelah kanan makam, sedangkan Sinta, dan Annisa di sebelah kiri.
Di sini juga masih terdapat Bayu ddk yang masih setia menemani.

Sinta menatap lurus nisan di depannya. Matanya memanas, hatinya berdenyut sakit saat teringat kembali kenangan dengan Ardan. Tangisannya tak dapat terbendung lagi. Sinta merangkul nisan itu dengan tangisan yang menyesakkan. Dadanya sangat sesak sekarang.

Sungguh itu menyakitkan.

Mereka yang di sana ikut menangis mendengar isak pilu Sinta. Mereka sama-sama sedih. Namun, yang paling terluka di sini adalah sosok yang menjabat sebagai ibunya.

Annisa menutup mulutnya dengan tangan rapat-rapat agar tangisannya tak terdengar. Dia merangkul Sinta agar tetap tegar. Dia tidak ingin terus-menerus menangisi kepergian Ardan. Dia tidak mau membuat Ardan terluka lagi.

"Bu-bunda u-udah jangan nangis lagi!" bisiknya sangat pelan tepat di samping telinga Sinta. "Kita harus ikhlas. Ardan tidak suka jika kita menangisi kepergiannya, Bun. Bunda harus kuat, jangan nangis lagi. Nisa ikut nangis melihat bunda."

Sinta termangu, dia menoleh menatap gadis yang merangkulnya dengan sendu. Dengan kasar ia mengusap air mata di pipinya, lalu berganti mengusap air mata di pipi Annisa. Benar, tidak seharusnya ia terlarut dalam kesedihan. Itu akan membuat Ardan menjadi berat.
"Makasih, makasih telah menenangkan bunda. Ardan sangat pintar memilih kamu menjadi kekasihnya," jawabnya.

Sinta lalu kembali menatap batu nisan itu. Ia mengelus lembut dengan tangannya.
"Bunda harap kamu bahagia di sana, Sayang. Bunda ... Bunda ikhlas. Mungkin ini memang takdirnya. Kamu bisa bertemu dengan kakak kamu kan di sana? Sampaikan salam bunda yaa," Sinta mencondongkan badannya memeluk nisan itu. "Selamat istirahat, Putra bunda!"

Setelah mengucapkan itu, Sinta menoleh lagi ke arah Annisa. Dia akan pergi. Dia akan pergi menemui Arga dan mengatakan semuanya.
"Bunda pamit ya ... Ada sesuatu yang harus bunda urus terlebih dahulu." Sinta mengelus lembut kepala Annisa, lalu pergi meninggalkan area pemakaman.

Setelah kepergian Sinta, mereka satu-persatu mulai mengucapkan selamat istirahat kepada Ardan, dan pergi saat hatinya sudah merasa tenang.

Kini hanya tinggal Annisa sendiri yang masih setia berada di samping makam Ardan. Dia mengatakan pada Ayu bahwa ingin tinggal sebentar di sini. Ayu tak melarang, dia hanya mengatakan bahwa Annisa tidak boleh terlalu larut dalam kesedihannya.

"Gimana sama rumah baru kamu?" ujarnya setelah diam lumayan lama. Dia tersenyum lembut menatap nisan itu. "Kamu sudah bahagia, sudah gak ngerasain sakit lagi sekarang. Meskipun kamu meninggalkan aku di sini sendirian ... Aku akan mencoba ikhlas, Ardan. Aku janji akan selalu datang di setiap hari Kamis. Di mana ... Hari waktu kamu nembak aku waktu itu."

Annisa terkekeh pelan. Dia sangat ingat saat Ardan yang terlihat gusar sendiri waktu itu. Awalnya dia curiga akan Ardan. Namun, hal tak terduga justru terjadi. Ardan mengutarakan bahwa dia telah lama menyukainya, dan menembaknya untuk menjadi kekasih.
Dia menerima tanpa pikir panjang karena memang dia juga diam-diam menyukai Ardan. Hari spesial mereka sangat biasa. Ardan menembaknya hanya menggunakan 5 bungkus coklat. Jangankan coklat yang besar, dia hanya memberinya coklat yang berbentuk koin. Kalian tau kan coklatnya gimana?

ARDAN MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang