31°

1.7K 137 144
                                    

~Happy Reading ~

"Bangun!" Seseorang membantunya, orang itu menuntun Ardan untuk bangun, dan duduk di kursi.

"Pa-papa Bara."

Bara mengangguk, dia mengelus kepala Ardan lembut. Dia tidak sengaja melihat Ardan sejak dari ruangan Nia, dan mengikutinya hingga sampai si sini.

Pagi ini sebelum menuju ke ruangan Argan, Ardan memutuskan untuk menemui Dokter Nia terlebih dulu. Dia akan meminta resep obat lagi, dan juga memeriksakan kondisinya.

"Pagi, Dok." Sapa Ardan memasuki ruangan.

Dokter Nia mengangguk tersenyum. Dia menyuruh Ardan untuk duduk.

"Gimana keadaan kamu sekarang? Apa masih sering kambuh?" tanyanya.

"Seperti biasa, Dok. Aku ke sini untuk meminta resep obatnya lagi. Yang kemarin udah habis."

Wanita didepannya terlihat terkejut. Bagaimana bisa secepat itu? Obat yang kemarin seharusnya untuk dua Minggu, tapi ini baru masuk satu Minggu udah habis.
"Kok bisa habis? Dokter kasih itu untuk waktu dua seminggu loh, Ardan."

Ardan meringis, dia menggaruk tengkuknya menatap wanita itu dengan cengiran. "Setiap kambuh aku selalu minum, Dok," jawabnya.

Dokter Nia menatapnya dengan garang. Itu berlebihan. Jika diteruskan Ardan akan overdosis.
"Jangan diulangi lagi, kamu nggak bisa meminum itu semaumu, Ardan. Semua obat ada batasannya," ucapnya memperingati Ardan.

"Oh iya, gimana? ... kamu sudah mau kemoterapi? Sudah hampir dua Minggu kamu nggak memeriksakan kondisi kamu lagi," tanya wanita itu.

Menggelengkan kepala jawaban Ardan. Dia masih tidak bisa melakukan kemoterapi nya.
"Kasih resep obatnya lagi aja, Dok. Nanti sekalian cek kondisi aku aja."

Menghela napas lelah, itulah yang bisa dilakukan wanita berpakaian jas putih itu. Dia sudah beberapa kali membujuk anak itu untuk kemo, tapi tetap saja sia-sia.
"Baiklah, ayo."

Beberapa menit kemudian, Dokter Nia menyerahkan hasil pemeriksaannya kepada Ardan.
Ardan membaca dengan seksama, dia terdiam sejenak melihat itu. Penyakitnya sekarang memasuki stadium 3. Sekarang dia pasrah.

"Kamu lihat sendiri kan? Sekarang semakin menyebar. Jika saja kamu mau kemoterapi atau transplantasi darah, kemungkinan itu tidak akan cepat menyebar, Ardan," jelasnya.

Ardan menunduk, meremas kuat bajunya.
Dia lalu mengangkat kepalanya dengan menunjukan senyuman teduh pada wanita di depannya.
"Aku nggak papa, Dok. Mungkin memang takdir Ardan seperti ini. Oh iya, di sini ada keluarga Ardan. Kakak Ardan masuk rumah sakit kemarin. Ardan mohon jangan beritahu mereka, Dok," pinta Ardan.

Wanita itu mengangguk sebagai jawaban. Dia sudah tau itu. Tadi pagi saat dia berangkat, dia tidak sengaja berpapasan dengan Sinta di depan.

"Kalau begitu aku permisi, Dok. Sampai jumpa lain hari." Setelah berpamitan, dia langsung menuju ke luar untuk menebus obat.

"Kamu kuat, Nak. Semoga mereka tidak menyesal telah mengabaikan kamu."

"Kamu nggak papa, kan?" Bara melihat tubuh Ardan teliti. Mencari apakah Arga telah melukainya atau tidak.

"Aku nggak kenapa-napa. Papa sendiri kenapa ada di sini?" Ardan mengusap air matanya. Kini dia menatap Bara dengan senyuman manis seperti hari-hari biasanya, seakan-akan kejadian tadi tidak pernah terjadi.

ARDAN MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang