26°

1.9K 110 82
                                    

Hari terus berlalu, kini hari dimana Ardan dilahirkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari terus berlalu, kini hari dimana Ardan dilahirkan. Hari Rabu, hari yang tepat berada di tengah-tengah.
Pulang sekolah Ardan tidak langsung pulang ke rumah. Dia menuju ke taman kompleks sebentar hanya untuk duduk-duduk santai.

Saat ini taman sangat sepi. Dia duduk di bawah pohon rindang dengan pandangan yang mengarah langsung ke danau. Memilih memejamkan matanya, dan merasakan sejuknya udara sore ini. Angin berhembus yang menembus kulit membuat dirinya semakin terbawa oleh suasana.

Setelah selesai menikmati udara sejuk sore ini, dia lalu mengambil buku diary yang selalu dia bawa saat sekolah.
Dia membuka halaman per halaman sampai di halaman yang kosong. Sebelum menulis, dia mengambil napas sejenak untuk mengatur perasaannya.

Menulis kata perkata, cerita ke cerita, menceritakan semua apa keluhan dia hari ini. Dia lebih percaya kalau diary adalah teman curhat paling setia. Karena apa? Karena kalau dia curhat ke seseorang, mungkin saja mereka akan menceritakan ulang ke orang lain, benar bukan?

Biarkan dia dikatain seperti apapun karena selalu membawa diary ke sekolah, dan karena dia cowok. Emang kalau cowok tidak boleh mengeluh? Jangan lupa cowok juga memiliki hati.

Ardan menuliskan semua yang ingin dia sampaikan, bahkan tulisannya sampai di lembar ke dua. Dia tidak hanya menuliskan semu keluh kesahnya. Namun, dia juga menuliskan semua apa keinginan yang belum dia sampai hingga saat ini.
Sedang asyik-asyiknya menulis, setetes darah menetes dan langsung mengenai buku diary-nya. Dia lalu mendongakkan kepalanya agar darah itu berhenti.
Sayangnya, bukannya berhenti darah itu justru semakin banyak. Ditambah juga kepalanya diserang pusing kembali.

Ardan kalang kabut, badannya juga merasakan remuk saat ini. Sebenarnya ada apa dengan ini semua? Mengapa dia selalu seperti ini di waktu yang dekat. Kalau karena kecelakaan itu, tidak mungkin kan sesering ini?
Ardan mengerang menahan denyutan di kepalanya yang semakin menjadi-jadi. Dia tidak memikirkan lagi darah di hidungnya. Sakit di kepalanya justru lebih parah dari pada kemarin-kemarin.

"Kenapa, Tuhan? Kenapa di hari ini aku tidak bisa merasakan kebahagiaan sedikitpun? Di hari ulang tahunku, mengapa ini justru terjadi, Argh," dia meremas kuat kepalanya agar pusing dan denyutan itu hilang.

"Aku ingin bahagia, Tuhan."

°°°°°°

Pagi ini wajah Ardan sangat pucat. Pusing di kepalanya masih terasa. Namun, dia memaksa untuk pergi ke sekolah tanpa memikirkan keadaannya.

"Kamu istirahat aja di rumah ya, Sayang," pinta Ayu.
Saat ini mereka sedang berada di ruang makan. Bara sudah berangkat terlebih dahulu karena ada rapat pagi ini, dan ada pertemuan dengan seseorang.

Ardan menggeleng, "Nggak bisa, Mah. Ardan harus tetap masuk hari ini. Nanti ada penilaian lari, Ardan nggak mau ketinggalan itu."

Ayu semakin cemas mendengar itu. Dengan kondisi seperti ini, apakah dia kuat untuk lari nanti?

ARDAN MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang