49° END

4.1K 125 39
                                    

Kakinya melangkah masuk secara pelan. Tubuhnya terlihat seperti tubuh yang tak bernyawa. Langkah demi langkah semakin membuat hatinya seperti teriris.
Dia mendudukkan dirinya di ranjang. Bunyi ranjang saat dia duduk membuatnya semakin merasa bersalah. Di rumah sebesar ini mengapa masih ada ranjang yang mungkin di tiduri 3 sampai 4 orang akan rubuh.

Matanya telanjangnya menelisik setiap sudut kamar. Tidak ada yang spesial. Semua barang sangat sederhana menurutnya.
Hingga sampai iris matanya menangkap buku usang di bawah meja. Buku bersampul hitam itu sepertinya terjatuh.

Diambilnya buku itu, lalu dibukalah di halaman pertama.

Piala yang entah ke berapa

Itulah tertulis di bagian paling atas, mungkin judul.

Lagi-lagi sama
Entah sampai aku pun lupa ini yang ke berapa
Mengapa harus dihancurkan?
Mengapa mereka tidak pernah bangga atas apa yang aku dapat?
Apa aku seburuk itu?
Aku hanya ingin kalian memujiku
Iya, aku haus pujian kalian
Ayah ... Itu piala aku, Yah
Aku mendapatkan itu dari lomba yang ku ikuti
Mengapa kau menghancurkannya?
Piala itu hancur, bersamaan dengan hancurnya hatiku
Semoga ini piala yang terakhir

Setelah membaca tulisan di halaman pertama, dia tak mampu lagi menahan tangisannya. Tulisan itu sangat menyakitkan. Hatinya sakit, tapi masih banyak yang ingin dia baca.
Perlahan ia mulai membalikkan halaman berikutnya.

Malam yang indah

Kalian kenapa tidak mengajakku juga?
Aku sendirian di sini
Kalian tau? Aku hanya makan malam dengan sereal, kerana tak ada makan sedikitpun di rumah
Malam ini sangat indah
Banyak bintang yang menemani bulan
Andai saja aku bisa menjadi bulan itu
Aku akan memiliki banyak pendamping
Tapi,...
Itu akan membuatku pergi jauh dari kalian
Aku tidak ingin pergi sekarang
Aku belum bisa menarik kalian ke pelukanku lagi
Kalian cepat kembali, yaa...
Aku sendirian
Malam ini indah, tapi dingin
Pulanglah
Peluk erat tubuh kurusku ini

Halaman ke 3,

Ayah aku anakmu

Ayah...
Sakit yah tubuhku
Ayah memukuliku seolah aku bukan manusia
Kepalaku berdarah ,Yah
Semua terasa sakit
Kenapa harus aku?
Aku juga anakmu
Bunda...
Kau ibuku, kan?
Kenapa tidak menahan ayah saat dia memukuli aku?
Tapi tidak papa
Mungkin memang tadi salahku yang pulang melebihi jam 9
Aku yang salah
Berharap sambutan saat pulang
Aku tidak membencimu, yah, Bun
Aku hanya kecewa

Halaman ke-4

Maaf

Malam ini aku tidak bisa tidur
Mataku lelah, tubuhku pun begitu
Tapi ... Aku tidak bisa terlelap
Apa kau harus meminumnya lagi?
Iya, obat tidur
Hanya dia yang bisa membuatku tidur hehe
Kalian tau? Sejak kemarin aku mimisan terus
Nulis ini pun aku masih mimisan
Tuh kan bukuku terkena darah...
Aku minta maaf
Maaf telah hadir di kehidupan kalian
Maaf membebani kalian
Kalian jangan sedih, aku hanya memiliki sedikit waktu lagi
Kalian akan bahagia jika aku pergi, kan?
Aku akan pergi
Maaf

Sudah, dia tak mampu lagi untuk membaca tulisan-tulisan itu. Semakin membalik halaman, semakin sakit hatinya. Apa memang sekeji itu? Dia sangat menyesalinya, sungguh.
Tangannya bergerak sendiri tak terhenti. Ia terus membaca tulisan halaman per-halaman. Setiap kata yang tersusun itu membuatnya tak bisa berkata-kata. Dia tak pernah menyadari bahwa kelakuannya sangat kelewatan batas selama ini.

ARDAN MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang