33°

1.7K 121 92
                                    

Ardan memilih duduk di bawah pohon mangga, di belakang sekolah. Tempat ini sangat sepi, jarang sekali murid lewat di sini.

Mendudukkan pantatnya, dengan mata memandang lurus ke depan. Pikirannya berkecamuk, memikirkan semua yang dia alami akhir-akhir ini.
Terlebih, permasalahan dengan ayahnya. Entah sampai kapan ayahnya bisa berubah, dan baik kepadanya. Dia tidak tau.

"Apa emang gue nggak berhak bahagia ya?" gumamnya lirih.

"Arghh kenapa kalian selalu datang! Gue lelah, sialan!" Memukul kepalanya beberapa kali agar sakitnya menghilang. Namun itu tidak membuatnya puas.

Ardan mengerang menahan denyutan di kepalanya, rasanya menyakitkan. Dia ingin tenang sehari saja tidak bisa. Selalu saja ada masalah.

"Kenapa Tuhan? KENAPA SELALU GUE?" teriaknya. Setetes air mata menetes. Menangis sendirian tanpa ada yang menemaninya.

"Kenapa? Kenapa, Tuhan?" Suaranya memelan.

Tak lama, seseorang menghampiri Ardan.
Dia langsung mendudukkan dirinya tepat disampingnya.

"Kamu ngapain di sini?"

Ardan menoleh menatap wajah cantik gadisnya. Iya, Annisa lah yang menghampirinya.

"Sakit ... Tubuh ku sakit, Sa," ucapnya dengan lirih.

"Sakit kenapa? Bilang sama aku!" Annisa memegang tangan Ardan lembut.

Tanpa menjawab pertanyaannya, Ardan berangsur memeluk Annisa.
Annisa yang tubuhnya tiba-tiba dipeluk pun langsung terdiam. Membalas pelukan Ardan, dan mengelus sayang punggung pria itu saat dia merasakan pundaknya sedikit basah.

Ardan menangis.

"Aku lelah, Sa. Kenapa semua tidak mau aku bahagia? Kenapa?" Suara lirih Ardan membaut hatinya sakit. Entah mengapa dirinya merasa bahwa pria dipelukannya sedang rapuh.

Melepas pelukannya perlahan dan menangkup wajah Ardan dengan kedua tangannya.
"Nggak, kamu berhak bahagia. Semua berhak, tidak ada yang tidak berhak untuk bahagia. Kamu cerita sama aku, biar kamu bisa sedikit tenang," ucapnya dengan mengusap air mata diwajah Ardan.

"Me-mereka menuduhku, mereka menyalahkan aku padahal bukan aku yang melakukan itu. Bukan salah ku, aku nggak salah." Tubuh Ardan bergetar hebat, meskipun saat itu dia melawan Arga, tapi percayalah dia juga membutuhkan tempat untuk menjadi sandarannya.

"Siapa? Siapa yang menuduhmu? Aku percaya kamu nggak mungkin melakukan apapun yang mereka tuduh itu. Aku percaya, Dan." Annisa kembali merengkuh tubuh Ardan dan memeluknya erat. Matanya memanas ikut merasakan pedihnya sakit yang kekasihnya dapatkan.

Setelah beberapa menit Ardan mulai merasa tenang. Perlahan dia melepaskan pelukannya dan menstabilkan napasnya yang tersengal-sengal karena menangis.

"Makasih, aku harap kamu selalu di sisi aku, aku mohon!" pinta Ardan dengan memandang Annisa penuh harap.

Dijawab dengan anggukan kepala serta senyuman manis terpaut di wajahnya. "Aku selalu bersama kamu, tenang saja."

Mereka terdiam sejenak. Annisa yang setia mengelus lembut tangan Ardan, dan Ardan yang menatap kosong ke depan. Memikirkan apa yang akan terjadi lagi setelah ini.

"ARDAN!"

Keduanya sontak menolehkan kepalanya saat mendengar teriakan itu. Bayu, Kenan juga Rangga terlihat berjalan mendekati mereka. Entah mengapa, Ardan melihat raut marah dan kecewa di wajah Bayu juga Kenan.

Berdiri dari duduknya lalu menatap Bayu yang tiba tepat di depannya.

"Lo kenapa ngelakuin itu, Dan?" desis Bayu dengan pandangan kecewa.

ARDAN MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang