32°

1.7K 117 110
                                    

Ardan memasuki rumah pada malam hari. Saat akan menuju ke kamar, Bara menghentikan langkahnya. Pria itu menarik tangan Ardan, dan membawanya menuju ruang kerjanya.

"Kenapa, Pah?" tanya Ardan saat mereka sudah di dalam.

"Duduk dulu," jawab Bara.

Mereka duduk di sofa yang ada di pojok. Ardan menunggu Bara untuk berkata terlebih dulu.

"Apa ada yang mau Papa katakan?"

"Kamu sakit kanker!" Itu bukan pertanyaan, tetapi pernyataan!

Ardan menegang, matanya menatap Bara dengan terkejut. Bagaimana bisa tau, padahal seingatnya dia tidak pernah memberitahukan kepada siapapun.

"Papa bercanda? Mana ada aku sakit kayak gituan, aku sehat-sehat aja, Pah." Ardan terkekeh menangapi ucapan Bara.

Bara menatap Ardan tajam. Dia tidak suka dibohongi.
"Papa udah tau, Ardan. Pagi tadi papa melihat kamu keluar dari ruangan Nia. Dia dokter kanker, jangan bohongi papa!"

"Ta-tapi, Pah. Aku emang nggak--"

"Masih mau bohongi papa? Apa kamu tidak percaya pada papah? Ardan, kenapa?" Bara menundukkan kepalanya, wajahnya tersirat kekecewaan di sana.

Ardan segera memegang tangan Papahnya itu, dia lalu tersenyum tapi bersamaan air matanya menetes.
"Papa benar, aku sakit kanker, kanker darah."

Mata Bara membola, jadi itu benar? Dia kita Ardan hanya mengantar seseorang waktu itu.
"Ka-kanker? Stadium berapa?" tanyanya terbata-bata.

"Udah stadium 3, Pah." Ardan tersenyum singkat menatap Bara.

Lidah Bara terasa keluh untuk berbicara, stadium tiga bukankah sudah parah?
"Papa kenal sama dokter Nia, kamu kemoterapi ya biar tidak semakin menyebar," ucapnya menyakini Ardan.

"Tidak, Pah! Sia-sia aku udah capek sama semua ini. Kalaupun tidak ... aku ingin tenang, Pah," jawabnya.

"Apa mereka tau? Tapi kalau kamu tidak melakukan pengobatan, kondisi kamu akan memburuk, Nak. Papa sudah menganggap kamu seperti anak Papa sendiri, Papa tidak mau kehilangan kamu," ujar Bara terdengar lirih.

Ardan meraih tangan Bara, dan menggenggamnya. Dia menatap hangat pria itu sambil tersenyum.
"Aku nggak kenapa-napa, Pah. Mereka juga tidak ada yang tau. Hanya Papa saja yang baru tau tentang ini."

"Aku mau ke kamar dulu, Ardan capek ingin istirahat," pamitnya.

Malam harinya Ardan sengaja melewatkan makan malam. Penyakitnya kambuh membuat dia memilih tidur lebih awal. Bahkan dia tidak membukakan pintu saat Ayu membawakan makanan untuknya.

Pagi telah tiba, udara sejuk membuat siapa saja merasa segar di pagi hari. Namun, tidak untuk Ardan.

Meskipun Ardan semalam sudah meminum obatnya, sakit di tubuhnya masih terasa. Wajahnya kini terlihat sangat pucat.

Dia menghiraukan kondisinya, dan tetap ingin berangkat ke sekolah. Sengaja berangkat pagi-pagi agar Bara maupun Ayu tidak melihat kondisinya saat ini. Ardan pergi tanpa sarapan, dan juga tanpa meminum obatnya.

Dia mengabaikannya.

Setalah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menitan, Ardan tiba di depan gerbang SMA Angkasa.
Matanya menyipit untuk memfokuskan objek di depan sana.
Itu mobil Ayahnya, mobil Arga.
Terlihat Arga yang turun dari mobil dan disusul dengan Argan. Mata saudara kembar itu tidak sengaja bertatapan. Hanya sekilas, karena Ardan langsung memutuskan kontak matanya.

"ARDAN!" Argan berteriak sembari melambaikan tangannya.

Ardan hanya menoleh sebentar, dan memberikan senyuman singkat. Dia membalikkan badannya, lalu melangkahkan kakinya untuk segera meninggalkan tempat ini. Dia tidak ingin membuat Ayahnya marah karena adanya dirinya di sini.

ARDAN MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang