42°

2K 115 3
                                    

Dunia akan terus berjalan, meskipun kita tidak menginginkannya. Kita tidak bisa menghindar dari apa yang akan terjadi. Entah itu kejadian baik, ataupun kejadian buruk.

Suasana hati yang seharusnya merasa tenang karena sang putra yang sudah baik-baik saja, kini harus kembali merasa cemas. Hatinya sekarang dalam dua pilihan, pilihan yang sangat sulit bagi seorang ibu.

Seorang ibu adalah segalanya dalam sebuah keluarga. Ibu yang menjadi sandaran bagi suaminya, juga tempat bermain bagi anaknya.

Sinta menggelengkan kepalanya guna menghilangkan pikiran buruk yang mendatanginya. Pikirannya kacau, banyak sekali masalah yang datang silih bergantian. Sinta tau, setiap masalah pasti akan ada jalan keluarnya. Namun, kenapa sekarang dia menyerah?

Tentang Argan yang membutuhkan donor mata, dan sekarang kenyataan bahwa Ardan yang ternyata menyembunyikan penyakit mematikan dari mereka.

Waktu mengetahui bahwa Ardan yang berada di ruang ICU. Sinta memaksa Ayu untuk memberikan penjelasan kepadanya. Ayu awalnya menolak, tetapi Sinta tak menyerah. Sinta bahkan tak segan-segan berlutut di hadapan Ayu memohon untuk mengungkapkan segalanya.

Ayu menjelaskan semua yang dia tau. Tak ada sedikitpun hal yang dia sembunyikan dari ibu kandung putranya itu. Tentang awal di mana dia bertemu Ardan, penyakit Ardan, dan berakhir sampai di rumah sakit saat ini.

Seharusnya Ardan sudah baik-baik saja saat ini karena telah melewati masa kritisnya. Namun, Ardan tiba-tiba berteriak kesakitan di sekujur tubuhnya. Ardan mengeluhkan tentang tubuhnya yang terasa seperti terbakar.

Ayu panik saat itu, baru saja mereka berbincang-bincang sebentar. Dengan cepat semuanya berubah. Tanpa menunggu lama dia menekan tombol untuk memanggil sang dokter. Dokter menyuruhnya keluar, dan segera menangani Ardan.

Sinta mendengarkan semuanya. Sebuah kebenaran yang dia tidak tau selama ini. Apalagi tentang kanker Ardan yang sudah memasuki stadium akhir. Semua itu membuat hatinya terasa sesak. Jantungnya berdetak cepat beriringan dengan napasnya yang mulai terengah-engah.

Mata yang sedari tadi sudah memanas, kini mulai menjatuhkan buliran bening. Tangisan yang siapapun mendengarnya akan ikut merasakan sedihnya.
Sinta menyesal, mengapa dia dulu tidak mencegah Ardan untuk pergi dari rumahnya. Seandainya dia bisa mencegahnya, mungkin saja Ardan masih ada bersama dengannya saat ini.

Tangannya terkepal erat guna menghilangkan sesak dari dadanya. Menghembuskan napasnya sejenak sebelum melangkah maju memasuki ruangan Ardan.

Pintu terbuka, Indra penciumannya langsung menangkap bau obat yang menyengat. Suara mesin EKG membuat jantungnya berdegup kencang.
Kakinya perlahan mendekati Ardan. Sekuat tenaga Sinta mencoba untuk tetap tenang, meskipun sebenarnya tubuhnya sudah terasa lemas saat masuk sini.

Sinta mendudukkan pantatnya tepat di samping ranjang. Tangannya terulur mengusap dahi sang putra. Matanya menatap lekat wajah yang damai itu.

Wajah putranya terlihat sangat tenang sekali. Mata yang terpejam rapat itu tak menyiratkan kesedihan apapun. Wajah putranya yang sangat dia rindukan.

Sinta merasa sesak. Udara di sekitarnya seakan lenyap dengan cepat. Matanya berkaca-kaca mengingat kapan terakhir Ardan bersamanya.

"Ardan ... I-ini bunda, Nak," ujarnya yang terdengar memilukan. Isakannya semakin menjadi, lantaran hanya keheningannya yang menjawabnya.

"Kamu marah sama bunda? Kenapa, Nak? Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar ini dari bunda? Ba-bagaimana ...." Lidahnya terasa keluh tak mampu lagi melanjutkan ucapannya.

Sinta tak kuasa lagi menahannya, berulang kali dia menahan agar tidak mengeluarkan air mata itu tapi tetap sama. Semakin menahan maka semakin sakit juga rasanya.

ARDAN MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang