36°

1.7K 127 108
                                    

Ardan termenung di balkon kamarnya, mengingat kembali perkataan Bayu, Kenan juga Rangga tadi.
Setelah selesai dengan Annisa, Ardan langsung bergegas menuju tempat berkumpul dengan sahabatnya.

Ardan mengatakan semuanya tanpa terkecuali yang membuat mereka terkejut.
Respon mereka hampir sama dengan Annisa.

Mereka marah, kecewa bahkan sedih bersamaan.
Ardan berusaha keras menyakinkan mereka bahwa dia akan baik-baik saja.
Namun, tetap saja mereka tetap kurang percaya kepadanya.

"Lo kenapa sembunyiin hal sebesar ini dari kita, Dan?"

"Lo nganggep kita apa! Haa? Kita sahabatan udah dari lama. Kenapa Lo nggak bisa ngebicaraiin hal ini sama kita? "

"Gue gak tau tau harus gimana sekarang. Gue kecewa sama, Lo. Gue harap nggak ada lagi yang lo sembunyikan dari kita!"

Perkataan ketiganya berputar di kepalanya. Ardan sangat paham kekecewaan mereka. Mereka boleh berkata sarkar seperti itu.
Ardan tidak marah, karna memang itu salahnya.

Iris matanya memandang lurus ke langit. Malam ini langit terlihat sangat indah. Cahaya bulan yang terang dengan dikelilingi banyaknya bintang.

"Apa mungkin gue akan jadi salah satu dari mereka?" Kekehan muncul di bibirnya.

"Mungkin iya!"

°°°°°

Pagi ini guru mendadak mengadakan ulangan harian. Ulangan matematika. Semuanya menghela napas pasrah, dan dengan ikhlas tak ikhlas mengerjakannya.

Demi nilai!

Ardan memijat pangkal hidungnya saat mendapat pertanyaan yang tidak dia pahami. Lebih baik dia lari keliling lapangan saja rasanya.
Kepalanya menoleh ke kanan, terlihat Rangga yang sedang fokus mengerjakan.
Terlihat jelas kalau Rangga sangat tenang menulis angka per angka di lembar jawabnya.

Ardan menyerah, hanya tinggal tiga soal yang belum dia jawab. Ardan bangkit, dan melangkah ke depan untuk mengumpulkan jawabannya. Setelahnya kakinya melangkah keluar kelas menuju kantin, karena kurang beberapa menit adalah jam istirahat.

Kakinya memasuki area kantin. Matanya melihat sekeliling. Masih sepi.
Menuju meja paling pojok, setelah memesan makanannya.

Tak lama pesanannya datang tepat bersamaan dengan bel istirahat berbunyi.
Terdengar derap langkah kaki, para murid satu persatu memasuki kantin.

Ardan hanya diam sambil fokus menyantap makanannya. Dia menghiraukan ramainya kantin.
Hingga Annisa datang dan duduk di sampingnya.
Gadis itu tiba dengan membawa semangkok bakso, dan satu es teh di tangannya.

"Kok nggak nungguin aku?" tanya Annisa.

Ardan menolehkan kepalanya menghadap Annisa. Tangannya terulur mengelus lembut surai panjang gadis itu.
"Aku laper, tadi pagi gak sempat sarapan, Sayang."

Sontak itu membuat Annisa terkejut. Dia lalu menatap nyalang Ardan.
"Kok bisa sampai gak sarapan sih! Kamu harus sarapan buat minum obat, kenapa lalai gitu?" cerocosnya.

"Kesiangan," jawabnya singkat.

Annisa hanya bisa menghela napasnya lelah. Semenjak tau kekasihnya memiliki penyakit serius. Membuatnya harus ekstra memperhatikan kondisinya. Ardan kerap kali mengabaikan bahkan tidak meminum obatnya. Hingga dia harus selalu memaksa laki-laki itu.

"Jangan diulangi lagi."

Sedangkan Ardan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tiba-tiba tubuhnya merasa lemas. Matanya kian memberat. Sendok yang berada di genggamannya mendadak terjatuh. Hal itu membuat Annisa terkejut.

"Eh kamu kenapa? Ardan!" Gadis itu menggoyangkan lengannya agar dia tetap sadar.
Sangat jelas raut kekhawatiran di wajah Annisa. Baru saja mereka berbincang, kini kondisi Ardan sangat membuatnya sesak.

"Jangan tutup mata kamu! Aku mohon," pintanya.

Ardan tidak mampu menjawabnya. Rasanya dia sangat ingin memejamkan matanya. Beberapa tubuhnya sudah tidak terasa.
"A-aku nga-ntuk, Sa, tubuhku mati rasa," ucapnya tertatih-tatih.

Mata Annisa memanas. Dengan cepat dia mengambil handphonenya dan menghubungi Bayu untuk segera ke kantin.

"Tunggu sebentar, Bayu sedang menuju kemari. Ja-jangan tutup mata kamu, Ardan!" Tangisannya pecah. Ardan tidak memperdulikan perkataannya, dan memilih memejamkan matanya.

Beberapa menit kemudian Bayu beserta Kenan juga Rangga datang dengan tergesa-gesa. Mereka tanpa ba-bi-bu langsung membawa Ardan menuju rumah sakit.

Di rumah sakit, Dokter Nia yang tidak sengaja berpapasan dengan mereka segera meminta untuk langsung di bawa menuju ruang ICU.

Mereka berempat menunggu di luar saat Ardan sudah memasuki ruang ICU.

"Sus siapkan alatnya sekarang!"
Dokter Nia tanpa menunggu lama segera melakukan penanganan pada Ardan. Dia bisa melihat bahwa kondisi Ardan sedang turun.

"Dok, detak jantungnya melemah!"
Seruan suster membuat Nia tegang. Wanita itu dengan cepat mencoba mengambilkan detak jantung Ardan agar normal kembali.

"Dokter mohon, Ardan. Bertahanlah."

Setelah berusaha dengan keras. Detak jantung Ardan kembali normal.

Meskipun dinyatakan koma.

Sedangkan di luar. Sudah terdapat Ayu juga Bara. Mereka berdua ditelpon oleh Bayu, dan mengatakan bahwa Ardan dilarikan ke rumah sakit.

Semua orang tegang menunggu dokter keluar. Ayu yang berada di pelukan Bara. Annisa yang melamun di kursi tunggu, dan Bayu ddk yang mondar mandir di dekat pintu.
Semua memikirkan Ardan di dalam sana. Apalagi sudah hampir setengah jam belum ada tanda-tanda Dokter akan keluar.

Hingga suara pintu terbuka mengalihkan perhatian mereka.
Dengan cepat Ayu bangkit mendekati Nia.

"Gimana Ardan? Dia baik-baik saja kan?" tanya Ayu.

Wanita berpakaian dokter itu terlihat menghela napasnya. Dia lalu menatap manik sahabatnya.
Dia harus profesional, ini sudah tugasnya menjadi seorang dokter.

"Kondisi pasien sempat melemah. Detak jantungnya hampir berhenti. Baiknya, pasien masih bisa bertahan sampai saat ini. Pasien mengalami koma!" Penjelasan Nia membuat mereka tersentak. Ardan koma? Ini kedua kalinya anak itu dinyatakan koma.

"Pah," Ayu menangis di pelukan suaminya. Putranya dinyatakan koma membuat hatinya berdenyut sakit.

"Kita harus kuat, Mah. Kita harus menguatkan Ardan agar bisa sembuh. Oh iya, Dok. Masalah penyakitnya bagaimana?" tanya Bara.

"Kankernya semakin menyebar. Bahkan sudah menyerang hingga ke sarafnya. Hal itu bisa saja membuat kondisi tubuhnya tidak bisa digerakkan, atau lumpuh. Namun, itu masih belum bisa dipastikan sampai pasien sadar dari komanya!"

"Ar-ardan tadi ngeluh tubuhnya udah ma-mati rasa sebelum dia pingsan."

Ucapan Annisa sontak membuat mereka semua terpukul. Bahkan sudah sampai seperti itu?

"Kalau sudah seperti itu kita harus segera melakukan tindakan kepada pasien," ujar Dokter Nia.

"Melakukan apa?" tanya Bara.

"Operasi! Jika melakukan kemoterapi mungkin akan sia-sia, karena kondisi pasien sudah sangat memburuk. Operasi pun kesempatannya hanya 15% dikarenakan telatnya penanganan. Namun, kita bisa melakukan operasi setelah pasien sadar dari komanya. Jika kita memaksa melakukannya sekarang, justru akan berakibat fatal," jelasnya.

"Kalau begitu saya permisi. Jika terjadi sesuatu segera panggil dokter. Kalian bisa menjenguk pasien satu-persatu, dan mematuhi peraturan yang ada," pamitnya segera bertolak dari sana.

Mereka hanya diam. Masing-masing mencerna perkataan Dokter Nia tadi.

Jadi jalannya harus operasi?

Apakah Ardan mau?

Harus! Itu demi kebaikannya!

.
.
.
.
To Be Continued

Kamis 4 Mei 2023
Aini

ARDAN MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang