Ch.18 Senja di Dermaga

1.6K 49 0
                                    

Untuk Visual tokoh bisa follow akun IG: @rein_angg dan TikTok: @rein_angg47. Mau seru-seruan menghalu bareng pembaca lain bisa join Grup Facebook: Rein Angg And Friends.

Sepanjang perjalanan, Evan tersenyum simpul karena Ghea ada di belakang dan memeluk pinggangnya dengan erat. Walau tak ingin mengakui, tetapi ia tak bisa membohongi diri sendiri ketika ada desiran yang berbeda di aliran darah saat merasakan tangan gadis itu begitu rapat dengan tubuhnya.

Kalau bisa, akan ia ambil jarak memutari kota yang lebih jauh hingga kebersamaan ini bisa terjadi dalam durasi yang lebih panjang. Akan tetapi, jarak dari NYU ke Coney Island hanya membutuhkan waktu paling lama satu jam saja dengan traffic yang ada. Ia pun yakin Ghea mengetahui jalan mana yang harus ditempuh.

Maka, niat berputar-putar tidak jadi terlaksana dan mereka langsung menuju pantai di bagian barat daya kota New York. Setibanya di sana, Evan langsung mengajak Ghea ke sebuah kedai es krim.

“Vanilla with oreo splash,” ucapnya menyerahkan satu cup es krim kepada Ghea sambil tersenyum manis.

Dua pandang mereka saling beradu, di mana Ghea berbinar menerima es krim tersebut. Gadis itu tertawa bak anak kecil yang teramat girang mendapat hadiah dari orang tuanya.

Bentuk es krim cone yang lucu. Satu scoop vanila besar di bagian atas, kemudian ada dua keping oreo di bagian kanan dan kiri. Bentuknya jadi menyerupai kepala seekor panda yang menggemaskan.

“Thanks, Evan!” seru Ghea langsung mencicipi rasa vanila kesukaan. “Bentuknya lucu, seperti panda!” kikiknya.

“Enak?” tanya Evan melirik senang. Melihat Ghea bahagia karena satu cone es krim membuat hatinya meleleh. “Lucu seperti panda, seperti kamu juga,” lanjutnya mengulum senyum.

“Aku seperti panda?” protes Ghea memicingkan mata.

Tergelak hingga kepalanya terdongak ke atas, Evan lalu menggeleng. “Bukan, kamu itu juga lucu, seperti panda. Tingkahmu itu menggemaskan, seperti anak kecil,” jelasnya masih tertawa.

Sebagai agen mata-mata pemerintah yang paling sering diterjunkan ke lapangan dalam 5 tahun terakhir, dunianya penuh dengan hingar bingar peluru serta ledakan-ledakan dahsyat di kamp teroris atau organisasi berbahaya lainnya.

Berjalan bersama Ghea terasa seperti sebuah dunia yang berbeda. Begitu damai, begitu sederhana, dan begitu … nyaman. Gelak tawa Miss Kingston seperti nyanyian burung di pagi hari ketika musim semi mulai menyapa. Terdengar riang, menceriakan kalbu.

“So, enak atau tidak es krim-nya?” ulang Evan memandang teduh.

“Sangat enak!” angguk Ghea mengacungkan satu ibu jari.

“Semoga bisa mengurangi rasa sakit akibat terjatuh dan menubruk pot di pinggir jalan,” gumam pemuda itu menatap sendu. Ia tahu luka di wajah Ghea pasti diakibatkan oleh tangan Horace Kingston, atau mungkin … tangan Sean Lycus.

Perasaannya masih sama seperti tadi, ingin melindungi Ghea dari serangan orang-orang jahat.

“Kamu jadi mengerjakan tugas? Kita bisa duduk di café itu. Aku akan membantumu mengerjakan tugas yang menumpuk,” tawar Evan menunjuk sebuah café kecil, tetapi terlihat nyaman di sebelah kanan jalan.

Ghea melirik dan mengangguk. “Iya, boleh!”

Duduk di sana berdua, Evan benar-benar membantu sang gadis dengan tugas-tugas yang menumpuk. “Aku akan membacanya sebentar,” ucap sang agen rahasia memperhatikan isi text book yang menjadi materi tugas.

Mata bulat Ghea memperhatikan wajah Evan yang sedang serius membaca. Tanpa sadar, ia tersenyum sendiri. ‘Mia benar, dia memang sungguh tampan. Pundaknya lebar dan kokoh. Lengannya juga terlihat kekar dengan otot yang berundak.’

SUGAR BABY OF THE MAFIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang